Ansel berjalan masuk ke dalam studio Chanyeol yang tidak terlalu besar, namun cukup nyaman untuk ditinggali

“Kamu sewa studio ini, mas?”

Aron mengangguk “Dibantu Joan, awalnya aku dateng ke sini bener-bener tanpa persiapan, dan kebetulan Joan punya temen yang bisa sewain studionya jadi saya ambil”

“Tanpa persiapan?”

Dan mendengar pertanyaan Ansel membuat Aron tersenyum malu mengingat alasan apa yang membuatnya jauh-jauh datang ke sini

“Mas?”

“Kalau itu... Saya ceritain nanti, karena berkaitan sama apa yang mau saya tanyakan”

Ansel mengernyit sesaat sebelum akhirnya hanya mengangguk mengiyakan

“Kamu mau istirahat sekarang? Atau mau ngapain dulu mungkin?”

“Istirahat aja kali ya, udah malem, tapi aku gak bawa piyama”

“Saya kan abis beli beberapa kemeja, Ansel. Ada yang kebesaran, mungkin muat di kamu”

Ansel mengangguk sebelum kemudian akhirnya mengikuti Aron masuk ke dalam kamarnya. Aron membiarkan Ansel mengganti pakaiannya di kamar mandi sementara Aron sendiri mengganti pakaiannya di dalam kamar

Setelah keduanya selesai, keduanya sempat merasa canggung mengingat sudah lama sekali mereka tidak berada di dalam kamar yang sama

Kemudian Aron bergerak, naik ke atas ranjang sebelum kemudian menatap Ansel dengan lembut “Sini” menepuk sisi kosong ranjangnya meminta Ansel untuk ikut berbaring dan Ansel sendiri menurut

Ansel sempat merasa gelisah sebenarnya sampai akhirnya Aron menariknya, mendekap tubuhnya membuat yang lebih kecil merasakan kehangatan dan pelukan yang begitu tulus, perlahan Ansel bisa lebih rileks, membalas pelukan Aron menghirup wangi tubuh Aron yang mampu menenangkannya

Keduanya terdiam cukup lama hingga akhirnya Ansel adalah yang pertama kali bicara

“Mas?”

“Iya”

Hening terjadi selama beberapa detik hingga Ansel kembali bicara

“Ayah sama bunda, kabar mereka gimana?”

“They are fine”

Ansel terdiam beberapa saat, tidak bisa dipungkiri terlepas dia berhasil menghadapi masa lalunya dengan Aron, tapi ia belum sesiap itu untuk membahas orang tuanya, ingatan bagaimana keduanya dengan terang-terangan membencinya begitu membekas, tapi Ansel juga tidak bisa menyangkal bahwa jauh di dalam hatinya Ansel begitu merindukan keduanya

Merasakan keterdiaman Ansel, Aron sedikit memberi jarak pada tubuh keduanya, menatap wajah Ansel yang kini tangannya justru bergerak memainkan berbagai bentuk di dada bidang Aron, terlihat gugup

“Ansel?”

Ansel tidak menjawab, namun beberapa saat kemudian pria mungil itu kembali bersuara “Aku denger... Ayah di penjara ya, mas?”

Aron terdiam beberapa saat sebelum kemudian mengangguk

“Hm, ayah kamu nepatin janjinya untuk menyerahkan diri, masa tahanannya juga gak lama, pengacara Kenneth berhasil bantu meringankan hukuman ayah kamu, hanya 5 tahun penjara, sekitar 3 tahun lagi juga bebas”

Namun, seolah pernyataan itu tidak membuat Ansel lebih tenang, dirinya justru menghembus nafas pelan “Aku—jahat banget ya, mas?”

Dan secepat itu juga Aron menggeleng “Engga, itu memang suatu hal yang harus kamu bayar, lagian ayah kamu baik-baik aja, beliau masih bisa makan dan beristirahat dengan baik”

“Tapi pasti bunda sedih banget di rumah sendirian”

“Bunda kamu gak benar-benar sendirian kok, ada Rio yang setiap minggu dateng buat jenguk bunda kamu, kadang malah bantuin entah berkebun, belanja bareng”

Kemudian setelahnya Aron mencium pucuk kepala Ansel dengan lembut “Kamu punya teman-teman yang luar biasa, Ansel. Kamu gak perlu khawatir”

Ansel mengangguk setuju sebelum kemudian kembali merapatkan tubuhnya dengan Aron “Ngomong-ngomong kamu belum cerita, kenapa kamu bisa ke sini, terus tadi kata kamu kamu ke sini tanpa persiapan?”

Mendengar pertanyaan Ansel, Aron tertawa kecil membuat Ansel mengernyit dan sedikit menjauhkan tubuhnya untuk sekedar mendongak dan menatap wajah Aron yang terlihat sedang menahan malu

“Kenapa?”

“Karena sekarang saya merasa konyol sama pemikiran saya hari itu”

“Emang kamu mikirin apa sampe terbang ke sini?”

“Well— kamu mungkin gak tau tapi selama kita berjauhan, saya selalu minta update kamu dari dia, saya mengikuti semua perkembangan kamu Ansel dari hari pertama terapi sampai kamu punya teman baru yang namanya Dito itu—”

Ansel sepenuhnya memusatkan perhatiannya pada Aron sementara Aron kembali bercerita

”— awalnya saya gak berpikir lebih, sampai kamu akhirnya mulai kembali megang hp dan buka semua kontak dan sosmed kamu, terus kamu bisa upload tentang dito tapi gak satupun chat saya dibalas, cuma dibaca, kamu bilang dito favorite person kamu, dan saya liat tweet dia juga nyaris semuanya tentang kamu...”

“Wait— kamu ke sini karena cemburu sama dito?”

Dan Aron terkekeh “Iya, konyol ya?”

Ansel ikut tertawa kecil mendengarnya “Gak sepenuhnya konyol sih, mas, karena mungkin kalau kamu gak ke sini dan kita gak ketemu, aku kayaknya udah naksir beneran sama dito”

Setelahnya tawa Aron memudar dengan cepat menatap Ansel dengan tatapan tidak percaya

“Kamu serius?”

Ansel mengangguk “Mas, kamu tau, apa yang aku lewati bener-bener gak semudah itu, aku pikir aku bakal selamanya kayak gini, gak berani percaya sama orang—”

Ansel terdiam beberapa saat mencoba mencari kata-kata yang lebih baik untuk tidak menyinggung perasaan Aron

”— well lebih tepatnya ya aku memang gak berani berteman dengan siapapun, kecuali Joan sama Rio, waktu ketemu Dito, aku gak ada pikiran untuk bisa temenan sama dia, sampai akhirnya aku bisa ngerasain gimana tulusnya dia ke aku—”

”— selain Joan di sini, dia selalu ada setiap aku butuh, selalu berusaha buat menghibur aku di saat aku lagi sedih, siapa sangka dia bahkan yg memulai rutinitas face time setiap malem cuma buat bilang ke aku kalau aku udah jadi anak yang hebat, udah jadi anak yang baik, kalau aku udah melakukan yang terbaik setiap harinya—”

”— aku nyaman, mas, sama dia. Sampai hari di mana kamu pertama kali ngehubungin aku—”

Ansel terdiam beberapa saat menatap Aron yang juga sedang menatapnya serius, Ansel terkekeh pelan melihat wajah serius Aron sebelum kemudian kembali bicara

”— waktu itu, aku masih Ansel yang pengecut, masih Ansel yang punya banyak ketakutan, jadi waktu kamu ngechat hari itu, aku ngehapus nama kamu, karena yang aku lakuin adalah gimana caranya aku bisa ngehindarin kamu—”

“Kamu hapus nomor saya?”

Ansel terkekeh “Kamu dengerin dulu cerita aku sampai habis ya?”

Aron menghela nafas pelan, kemudian mengangguk

“Iya, aku hapus nomor kamu karena memang tujuan aku saat itu adalah ngelupain kamu, yang ada di pikiranku saat itu cuma kita udah gak ada hubungan apapun jadi aku cuma berusaha ngelupain kamu dan buka hati aku buat Dito—”

”— awalnya aku sempet berfikir aku udah mulai punya perasaan lebih ke Dito, sampai akhirnya kamu muncul, aku tau mas, aku cuma kangen sama kamu, perasaan aku ke kamu sama sekali gak pernah berubah terlepas dari apa yang pernah terjadi sama kita. Aku bahkan omongin ini juga sama Joan, dan ya sampai akhirnya kita bener-bener bisa ngobrol kayak sekarang”

Dan tepat setelahnya Aron memeluk Ansel dengan erat

“Kalau begitu saya harus banyak bersyukur karena kekonyolan saya hari itu kan, pergi ke sini tanpa persiapan apapun, saya mungkin bisa gila kalau kamu gak pernah kembali ke pelukan saya Ansel, seperti apa yang saya bilang sebelumnya, saya bisa kehilangan siapapun tapi saya gak akan pernah bisa kalau kehilangan kamu, saya gak akan pernah bisa”

Kemudian Aron kembali melepas pelukannya, menangkup wajah mungil Ansel dan menatapnya dalam “Terima kasih, terima kasih pada akhirnya kamu memilih untuk kembali pada saya, makasih banyak ya, sayang”

Ansel merona ketika Aron mulai mencium setiap bagian dari wajahnya hingga akhirnya keduanya kembali bertatapan sebelum keduanya saling memejamkan mata dan berbagi kasih di sana, dengan bagaimana Aron mencium Ansel dengan lembut, tanpa gairah, tanpa tuntutan dan paksaan, hanya ciuman penuh perasaan dan rasa rindu yang tak bisa dideskrisipkan hingga akhirnya keduanya berhenti

Mencoba mengatur nafas satu sama lain, tangan Ansel bertengger di dada bidang Aron dan wajahnya kian merona ketika dia bisa merasakan detak jantung Aron yang menggila membuat Ansel tidak bisa menahan senyumannya dan akhirnya memilih berbalik membelakangi Aron

Aron menyadari itu dan hanya bisa tertawa kecil merasa konyol karena tidak bisa mengontrol debaran jantungnya

Ansel sendiri masih tersenyum malu sebelum senyuman malu itu memudar berubah menjadi senyuman sendu ketika pandangannya tanpa sengaja menangkap sebuah bingkai di atas nakas

Tangannya terulur mengusap foto itu sebelum kemudian berujar dengan lembut “Anak kita” ya itu adalah usg pertama dan terakhir Ansel yang selalu ia bawa sejak Tian memberikannya

Aron memeluk tubuh Ansel dari belakang sementara kepalanya bersandar pada bahu pria mungil kesayangannya itu ikut menatap foto hitam putih yang begitu indah untuknya “Hm, anak kita”

“Kalau aja aku gak egois dengan mikirin perasaan aku sendiri, kalau aja aku sadar lebih cepet, anak kita pasti masih hidup, dia pasti udah bisa jalan, bisa ngoceh—”

Perkataannya terhenti ketika Aron bergerak mencium bahu Ansel kemudian mencium pucuk kepalanya

“Gak ada yang perlu disesali, Tuhan mengambil dia karena Tuhan lebih sayang sama anak kita, dan untuk setiap kehilangan pasti akan ada pengganti yang lebih baik, jangan sedih, hm?”

Ansel mengangguk mengembalikan bingkai foto itu ke atas nakas sebelum kemudian berbalik memeluk Aron dengan erat “Mas, aku sayang banget sama kamu”

“Saya juga Ansel, saya sangat sangat mencintai kamu”

Dan keduanya akhirnya, melewati malam bersama dengan saling berpelukan untuk saling berbagi perasaan dan kerinduan yang sudah lama terpendam.