Aron menarik kursi sebelum kemudian memutuskan untuk duduk di hadapan Ansel sepeninggal Dito dari sana

Kalau boleh jujur, Aron cukup cemburu menyaksikan bagaimana pria itu mencium pucuk kepala Ansel di depannya, tapi Aron tidak boleh egois kan? Dia harus mengesampingkan rasa cemburunya mengingat ada hal yang lebih penting dari pada rasa cemburu itu sendiri

Lagipula Ansel juga terlihat biasa saja ketika Dito menciumnya, bukankah itu menujukkan bahwa ciuman itu sama sekali tidak ada artinya untuk Ansel?

Okay, lupakan soal itu

Keduanya hening, tidak ada satupun dari Aron maupun Ansel yang berniat membuka percakapan, keduanya masih mepertahankan suaranya hingga Aron berdehem

“Apa kabar, Ansel?”

Okay, bukankah ia terdengar bodoh dan kaku, bisa-bisanya ia bertanya ketika ia sendiri bisa melihat bagaimana keadaan Ansel persis di depannya

Tapi ia sendiri tidak punya pilihan bukan, lebih baik bertanya dengan bodoh dari pada mempertahankan keheningan di antara keduanya

“Baik, mas. Mas sendiri?”

“Gak pernah sebaik hari ini”

Ansel menunduk mencoba menyembunyikan senyumannya sebelum kemudian pria mungil itu mencoba untuk mengontrol ekspresi wajahnya dan suasana kembali hening

Keduanya terlalu canggung hingga Ansel kali ini yang memecah keheningan

“Mas—”

“Iya?”

Dan sekarang Ansel menjadi gugup, pria mungil itu menunduk memainkan tangannya mencoba menarik nafas dan menghembuskannya perlahan

“Hari ini.. Sebenernya ada banyak hal yang mau dan harus kita omongin—” Ansel terdiam sejenak sebelum kemudian melanjutkan “—kayak gimana perasaan kita selama ini, terutama setelah kamu tau aku— ternyata yang udah bunuh kak Melan...”

Aron menggeleng “Ansel...”

“Mas, sebelumnya aku mau minta maaf—”

“Ansel..”

”— maaf karena kenakalan aku di masa lalu ternyata berujung ngebunuh banyak orang termasuk kak melan, aku gak akan ngasih pembelaan apapun tentang hari itu, karena memang aku pelakunya, aku yang udah bunuh kak melan malam itu, aku yang sebenarnya sumber luka kamu selama 2 tahun itu kepergian kak melan”

“Ansel please...”

Ansel sendiri seolah tak mau berhenti, tiba-tiba saja rasa sesak itu muncul bersamaan dengan air matanya yang mulai berlinang. Menghadapi masa lalu dan kesalahannya adalah hal yang berat, tapi Ansel harus karena ia ingin semuanya selesai dengan baik, karena Ansel ingin sepenuhnya menghilangkan rasa sakitnya

“Ansel, gak perlu dilanjut...”

“Hari itu, hari di mana kamu tau kalau aku pelakunya, kamu pasti kecewa banget ya, mas? Kamu pergi ninggalin aku, tapi aku justru dengan gak tau dirinya selalu minta kamu buat balik ke sisi aku, aku bahkan gak mikirin gimana perasaan kamu hari itu, yang aku pikirin cuma rasa sakit aku tanpa perduli kalau kamu juga sama sakitnya—”

“Ansel, udah”

”— aku minta maaf buat semuanya ya, mas, buat semua rasa sakit kamu di masa lalu, aku minta maaf karena udah ngambil kak melannya kamu, aku minta maaf karena gak perduli tentang apa yang kamu rasain saat itu, aku minta maaf karena udah jadi orang yang gak bertanggung jawab, aku minta maaf karena masih hidup sampai sekarang tanpa rasa malu di saat aku udah bunuh orang kesayangan kamu, kak melan, anak kita—”

Aron tidak tahan, dirinya berdiri berjalan sebelum kemudian berlutut tepat di samping Ansel, memaksa pria mungil itu untuk menoleh menatapnya

“Boleh saya ngomong, sweetheart?”

Dengan isakan lirihnya Ansel mengangguk membuat Aron tersenyum mengusap air mata kekasih hatinya itu dengan lembut

“Ansel, saya gak akan nyembunyiin apapun hari ini selagi memang tujuan kita bertemu hari ini adalah untuk berkomunikasi dan menyelesaikan semuanya, hari itu, saya gak akan menyangkal bahwa hal yang saya rasakan adalah kecewa yang begitu besar. Ansel, kamu tau semuanya juga gak mudah untuk saya, fakta bahwa saya ternyata mencintai seseorang yang ternyata punya keterkaitan dengan masa lalu saya—”

”— tapi ansel, terlepas dari rasa kecewa itu, saya hanya merasakannya sehari, karena di hari-hari selanjutnya saya kecewa dengan diri saya sendiri. Saya kecewa karena saya bahkan gak bisa mengambil keputusan apapun tentang hubungan kita, saya bahkan melawan hati saya sendiri saat itu Ansel, saya meninggalkan kamu hanya demi ego, sedangkan jauh di lubuk hati saya, saya paham bahwa saya sangat mencintai kamu—”

”— sampai akhirnya ego saya sendiri yang buat kamu menjauh. Ansel, kamu tau saya pernah merasa terluka karena kepergian melan, tapi luka itu sama sekali gak seberapa dengan luka ketika saya kehilangan kamu—”

Kini Aron menitikkan air matanya, mengusap pelan rambut Ansel dan tersenyum

“Jadi, tolong jangan pernah berfikir bahwa kamu pantas mati, jangan pernah merasa bersalah karena kamu hidup sampai sekarang. Ansel, saat itu saya bisa bertahan meski melan pergi, tapi saya gak akan pernah bisa bertahan kalau itu kamu—”

”— jadi, tolong untuk bertahan dan kita bahagia bareng-bareng ya, kita mulai semuanya dari awal, hm?”

Dan Ansel tidak bisa menahan dirinya untuk memeluk Aron yang masih berlutut di hadapannya “Mas, aku minta maaf”

“Engga, sayang, jangan minta maaf, kamu gak sepenuhnya salah, kita perbaiki semuanya bareng-bareng, ya?”

“Jangan tinggalin aku lagi”

“Engga, engga akan, saya gak akan pernah ninggalin kamu lagi, pegang omongan saya, kamu boleh bunuh saya kalau saya mengingkari apa yang saya katakan hari ini”

Ansel mengeratkan pelukannya menenggelamkan wajahnya di ceruk leher yang lebih tinggi “Aku cinta banget sama kamu, mas”

“Saya lebih mencintai kamu, Ansel”

Dan kini keduanya berpelukan, saling menyalurkan rasa rindu yang sudah cukup lama terpendam sementara Dito dari jauh hanya tersenyum sebelum kemudian bangun dari duduknya dan berlalu dari sana, meninggalkan Ansel dan Aron yang masih dalam pelukan kasih, sementara Dito berusaha mengusir rasa sesak yang tak pernah ia rasakan sebelumnya