Keduanya terdiam terjebak dalam keheningan. Sudah sekitar 20 menit yang lalu keduanya sampai di kediaman orang tua Ansel, namun sepertinya keduanya belum ingin turun untuk segera bertemu Rowina – bunda Ansel – di dalam sana
Mungkin lebih tepatnya, Ansel yang belum ingin turun karena merasa belum siap untuk bertemu sang bunda
Aron mengerti kekhawatiran si mungil, jadi yang bisa ia lakukan hanyalah membiarkan Ansel hingga pria mungil itu menyatakan bahwa dirinya siap
Waktu terus berjalan, 30 menit terlewati masih dalam keheningan hingga akhirnya Ansel adalah yang pertama kali bersuara
“Mas?”
Merasa dipanggil Aron menoleh
“Ayo, masuk”
Aron diam sejenak sebelum bertanya “Yakin?”
Ansel mengangguk membuat Aron tersenyum, meraih telapak tangan mungil kekasihnya dan menciumnya dengan lembut
“Saya tau kamu bisa hadapi ini, kamu cuma perlu ingat, apapun reaksi bunda kamu nanti, mau itu seperti harapan atau di luar yang kita harapkanpun, kamu punya saya, saya selalu ada di samping kamu, hm?”
Ansel lagi-lagi mengangguk sebelum kemudian keduanya pada akhirnya turun, berjalan berdampingan tanpa melepaskan genggaman masing-masing, Ansel terlihat gugup jadi Aron dengan inisiatifnya memencet bel rumah di dekat pintu utama itu
Tidak ada tanggapan untuk beberapa menit hingga bunyi bel yang ke tiga, sebuah suara menyahut “Iya, sebentar”
Ansel mengeratkan genggamannya pada Aron sementara Aron hanya tersenyum mencoba menenangkan hingga pintu itu akhirnya terbuka
Dan senyum rowina yang awalnya terpancar perlahan memudar, seiring dengan wajah terkejutnya melihat Ansel di hadapannya menatap sang bunda dengan tatapan yang tak bisa diartikan
Keduanya diam hingga Aron berdehem berusaha untuk memecah keheningan di antara keduanya
“Permisi tante...”
Dan saat itu juga Rowina memutus tatapannya, sebelum kemudian bergeser untuk membiarkan kedua anak adam itu masuk ke dalam “Ayo kalian masuk dulu”
Aron mengangguk menarik pelan tangan Ansel untuk masuk ke dalam dan segera duduk di ruang tamu sementara Rowina sendiri terlihat kebingungan menatap keduanya “Kalian mau minum apa, biar bunda buatin”
“Air putih aja, tante” jawab Aron pelan
Sementara Rowina kini menatap Ansel yang juga tengah menatapnya “Ansel.. Mau.. Apa.. Nak?” tanya Rowina dengan hati-hati
“Air aja, bun..” jawabnya dengan suara lirih di akhir kalimat, entahlah, ada perasaan takut ketika dirinya harus kembali memanggil sang ibu dengan sebutan bunda
Rowina sendiri tersenyum lirih, mengangguk dan pergi ke belakang untuk sekedar menyiapkan air putih untuk Ansel dan juga Aron, sementara keduanya menunggu Aron sendiri tak berhenti mengusap pelan gengganan ansel untuk menenangkan
Sampai akhirnya Rowina kembali membawa dua cangkir berisi air putih, meletakkannya ke atas meja tamu sebelum kemudian duduk bersebrangan dengan keduanya. Suasana lagi-lagi kembali hening dan canggung, Ansel hanya bisa menunduk merasa gugup menerima tatapan sang bunda yang sulit diartikan
Sementara Aron ikut terjebak dalam suasana canggung itu, namun memahami bahwa Ansel juga membutuhkan bantuannya, Aron mau tak mau mulai membuka pembicaraan
“Begini tante—”
Dan Rowina mulai mengalihkan perhatiannya
”— seperti yang tante tau, selama ini kurang lebih 4 tahun Ansel tinggal di Amerika. Dan setelah 4 tahun itu, puji Tuhan Ansel dan keluarga Joan memiliki kesempatan untuk kembali ke Jakarta —”
” — kedatangan saya dan juga Ansel ke sini sudah sesuai dengan apa yang kami diskusikan, sebelumnya kami berdiskusi tentang di mana Ansel akan tinggal setelah ini. Apakah harus kembali ikut keluarga Joan, atau mungkin kembali ke apartemen lamanya, dan ya... Seperti yang tante lihat sekarang kami ada di sini, karena ansel memutuskan untuk kembali ke sini— “
“Ansel... Mau tinggal di sini?” Tanya Rowina yang mendapat anggukan dari Aron sebagai jawaban
“Jadi, gimana, tan?”
Hening.
Tidak ada jawaban setelah itu membuat suasana semakin canggung dan Ansel menjadi luar biasa gugup. Banyak hal yang mulai ia pikirkan sekarang terkait bagaimana keterdiaman sang bunda merupakan jawaban bahwa wanita paruh baya itu menolaknya
Dengan alasan itu, kini dadanya merasa sesak, rasa sakit itu kembali muncul hingga tanpa sadar membuat Ansel menggenggam tangan Aron semakin erat, membuat yang lebih tinggi khawatir melihat bagaimana kini Ansel menunduk lirih
“Sayang...”
“Bunda—”
Kini perhatian Rowina terpecah menatap Ansel yang masih menunduk merasa gugup
”— aku minta maaf, maaf karena udah bunuh kak leon, maaf, karena udah buat bunda sedih. Aku paham, kesalahan aku, dosa aku sama sekali gak bisa dimaafkan, jadi kalau bunda nolak kehadiran aku, aku ngerti, bunda pasti benci sama aku, bunda pasti —”
“Sayang...” dan suara lembut Rowina membuat Ansel terdiam sebelum kemudian manik coklatnya berairnya beralih menatap sang bunda yang kini juga menatapnya dengan mata yang sama, basah oleh air mata
Wanita paruh baya itu berdiri, berjalan mendekat sebelum kemudian berlutut tepat di hadapan Ansel dan meraih kedua tangan putra bungsunya itu
“Harusnya bunda yang bilang itu. Bunda adalah seorang ibu yang bahkan gak pantas memiliki anak sebaik kamu, bunda sudah jahat, bahkan secara tidak langsung pernah membuang kamu menjauh dari hidup bunda hanya karena keegoisan yang bunda miliki, harusnya bunda yang nanya —”
” — apa bunda pantas dimaafkan? Apa bunda pantas untuk menjadi seorang ibu sekali lagi? Apa bunda pantas untuk memiliki kamu sekali lagi?”
Ansel tak bisa menahan air matanya lagi, membiarkan dirinya menangis bersama sang ibu yang kini bisa Ansel rasakan menatapnya penuh kasih
“Bunda...”
“Nak, bunda bahagia sekali kalau kamu mau tinggal di sini, di rumah ini bersama bunda, tapi bunda takut, bunda takut kalau bunda gak pantas untuk memiliki kamu lagi, bunda takut kalau keberadaan bunda hanya akan menyakiti kamu”
Dan secepat itu juga Ansel menggeleng, ikut berlutut dan kini memeluk bundanya dengan erat. Melihat itu, Aron mau tak mau ikut turun dari sofa, menyaksikan bagaimana sepasang ibu dan anak itu menangis terlihat begitu saling merindukan
“Bunda, gak akan ada pertanyaan apakah bunda pantas atau engga, karena bunda selamanya akan menjadi bundanya ansel. Ansel selamanya jadi anak bunda, jadi bunda, ayo kita hidup sama-sama lagi untuk kembali saling memiliki ya, bun. Ansel, sayang banget sama bunda, Ansel kangen sama bunda”
Dan di situ Rowina mengangguk ikut menangis terisak bersama sang putra “Terima kasih ya, nak, terima kasih karena mau kembali, bunda minta maaf, kita mulai semuanya lagi ya, sayang. Ansel jangan pernah tinggalin bunda lagi”
Mendengar itu Ansel juga mengangguk dalam tangisan dan pelukan sang bunda “Bunda juga janji ya, jangan tinggalin Ansel”
Dan kini keduanya menangis, betah berpelukan dalam waktu yang cukup lama untuk mengungkapkan rasa cinta antara ibu dan anak yang tak pernah tersampaikan dengan benar
Sementara Aron hanya menatap keduanya tersenyum, berharap pada Tuhan bahwa keduanya bisa dan akan selalu menjadi sepasang ibu dan anak yang selalu bahagia setelah ini