Zenaya

Keduanya terdiam terjebak dalam keheningan. Sudah sekitar 20 menit yang lalu keduanya sampai di kediaman orang tua Ansel, namun sepertinya keduanya belum ingin turun untuk segera bertemu Rowina – bunda Ansel – di dalam sana

Mungkin lebih tepatnya, Ansel yang belum ingin turun karena merasa belum siap untuk bertemu sang bunda

Aron mengerti kekhawatiran si mungil, jadi yang bisa ia lakukan hanyalah membiarkan Ansel hingga pria mungil itu menyatakan bahwa dirinya siap

Waktu terus berjalan, 30 menit terlewati masih dalam keheningan hingga akhirnya Ansel adalah yang pertama kali bersuara

“Mas?”

Merasa dipanggil Aron menoleh

“Ayo, masuk”

Aron diam sejenak sebelum bertanya “Yakin?”

Ansel mengangguk membuat Aron tersenyum, meraih telapak tangan mungil kekasihnya dan menciumnya dengan lembut

“Saya tau kamu bisa hadapi ini, kamu cuma perlu ingat, apapun reaksi bunda kamu nanti, mau itu seperti harapan atau di luar yang kita harapkanpun, kamu punya saya, saya selalu ada di samping kamu, hm?”

Ansel lagi-lagi mengangguk sebelum kemudian keduanya pada akhirnya turun, berjalan berdampingan tanpa melepaskan genggaman masing-masing, Ansel terlihat gugup jadi Aron dengan inisiatifnya memencet bel rumah di dekat pintu utama itu

Tidak ada tanggapan untuk beberapa menit hingga bunyi bel yang ke tiga, sebuah suara menyahut “Iya, sebentar”

Ansel mengeratkan genggamannya pada Aron sementara Aron hanya tersenyum mencoba menenangkan hingga pintu itu akhirnya terbuka

Dan senyum rowina yang awalnya terpancar perlahan memudar, seiring dengan wajah terkejutnya melihat Ansel di hadapannya menatap sang bunda dengan tatapan yang tak bisa diartikan

Keduanya diam hingga Aron berdehem berusaha untuk memecah keheningan di antara keduanya

“Permisi tante...”

Dan saat itu juga Rowina memutus tatapannya, sebelum kemudian bergeser untuk membiarkan kedua anak adam itu masuk ke dalam “Ayo kalian masuk dulu”

Aron mengangguk menarik pelan tangan Ansel untuk masuk ke dalam dan segera duduk di ruang tamu sementara Rowina sendiri terlihat kebingungan menatap keduanya “Kalian mau minum apa, biar bunda buatin”

“Air putih aja, tante” jawab Aron pelan

Sementara Rowina kini menatap Ansel yang juga tengah menatapnya “Ansel.. Mau.. Apa.. Nak?” tanya Rowina dengan hati-hati

“Air aja, bun..” jawabnya dengan suara lirih di akhir kalimat, entahlah, ada perasaan takut ketika dirinya harus kembali memanggil sang ibu dengan sebutan bunda

Rowina sendiri tersenyum lirih, mengangguk dan pergi ke belakang untuk sekedar menyiapkan air putih untuk Ansel dan juga Aron, sementara keduanya menunggu Aron sendiri tak berhenti mengusap pelan gengganan ansel untuk menenangkan

Sampai akhirnya Rowina kembali membawa dua cangkir berisi air putih, meletakkannya ke atas meja tamu sebelum kemudian duduk bersebrangan dengan keduanya. Suasana lagi-lagi kembali hening dan canggung, Ansel hanya bisa menunduk merasa gugup menerima tatapan sang bunda yang sulit diartikan

Sementara Aron ikut terjebak dalam suasana canggung itu, namun memahami bahwa Ansel juga membutuhkan bantuannya, Aron mau tak mau mulai membuka pembicaraan

“Begini tante—”

Dan Rowina mulai mengalihkan perhatiannya

”— seperti yang tante tau, selama ini kurang lebih 4 tahun Ansel tinggal di Amerika. Dan setelah 4 tahun itu, puji Tuhan Ansel dan keluarga Joan memiliki kesempatan untuk kembali ke Jakarta —”

” — kedatangan saya dan juga Ansel ke sini sudah sesuai dengan apa yang kami diskusikan, sebelumnya kami berdiskusi tentang di mana Ansel akan tinggal setelah ini. Apakah harus kembali ikut keluarga Joan, atau mungkin kembali ke apartemen lamanya, dan ya... Seperti yang tante lihat sekarang kami ada di sini, karena ansel memutuskan untuk kembali ke sini— “

“Ansel... Mau tinggal di sini?” Tanya Rowina yang mendapat anggukan dari Aron sebagai jawaban

“Jadi, gimana, tan?”

Hening.

Tidak ada jawaban setelah itu membuat suasana semakin canggung dan Ansel menjadi luar biasa gugup. Banyak hal yang mulai ia pikirkan sekarang terkait bagaimana keterdiaman sang bunda merupakan jawaban bahwa wanita paruh baya itu menolaknya

Dengan alasan itu, kini dadanya merasa sesak, rasa sakit itu kembali muncul hingga tanpa sadar membuat Ansel menggenggam tangan Aron semakin erat, membuat yang lebih tinggi khawatir melihat bagaimana kini Ansel menunduk lirih

“Sayang...”

“Bunda—”

Kini perhatian Rowina terpecah menatap Ansel yang masih menunduk merasa gugup

”— aku minta maaf, maaf karena udah bunuh kak leon, maaf, karena udah buat bunda sedih. Aku paham, kesalahan aku, dosa aku sama sekali gak bisa dimaafkan, jadi kalau bunda nolak kehadiran aku, aku ngerti, bunda pasti benci sama aku, bunda pasti —”

“Sayang...” dan suara lembut Rowina membuat Ansel terdiam sebelum kemudian manik coklatnya berairnya beralih menatap sang bunda yang kini juga menatapnya dengan mata yang sama, basah oleh air mata

Wanita paruh baya itu berdiri, berjalan mendekat sebelum kemudian berlutut tepat di hadapan Ansel dan meraih kedua tangan putra bungsunya itu

“Harusnya bunda yang bilang itu. Bunda adalah seorang ibu yang bahkan gak pantas memiliki anak sebaik kamu, bunda sudah jahat, bahkan secara tidak langsung pernah membuang kamu menjauh dari hidup bunda hanya karena keegoisan yang bunda miliki, harusnya bunda yang nanya —”

” — apa bunda pantas dimaafkan? Apa bunda pantas untuk menjadi seorang ibu sekali lagi? Apa bunda pantas untuk memiliki kamu sekali lagi?”

Ansel tak bisa menahan air matanya lagi, membiarkan dirinya menangis bersama sang ibu yang kini bisa Ansel rasakan menatapnya penuh kasih

“Bunda...”

“Nak, bunda bahagia sekali kalau kamu mau tinggal di sini, di rumah ini bersama bunda, tapi bunda takut, bunda takut kalau bunda gak pantas untuk memiliki kamu lagi, bunda takut kalau keberadaan bunda hanya akan menyakiti kamu”

Dan secepat itu juga Ansel menggeleng, ikut berlutut dan kini memeluk bundanya dengan erat. Melihat itu, Aron mau tak mau ikut turun dari sofa, menyaksikan bagaimana sepasang ibu dan anak itu menangis terlihat begitu saling merindukan

“Bunda, gak akan ada pertanyaan apakah bunda pantas atau engga, karena bunda selamanya akan menjadi bundanya ansel. Ansel selamanya jadi anak bunda, jadi bunda, ayo kita hidup sama-sama lagi untuk kembali saling memiliki ya, bun. Ansel, sayang banget sama bunda, Ansel kangen sama bunda”

Dan di situ Rowina mengangguk ikut menangis terisak bersama sang putra “Terima kasih ya, nak, terima kasih karena mau kembali, bunda minta maaf, kita mulai semuanya lagi ya, sayang. Ansel jangan pernah tinggalin bunda lagi”

Mendengar itu Ansel juga mengangguk dalam tangisan dan pelukan sang bunda “Bunda juga janji ya, jangan tinggalin Ansel”

Dan kini keduanya menangis, betah berpelukan dalam waktu yang cukup lama untuk mengungkapkan rasa cinta antara ibu dan anak yang tak pernah tersampaikan dengan benar

Sementara Aron hanya menatap keduanya tersenyum, berharap pada Tuhan bahwa keduanya bisa dan akan selalu menjadi sepasang ibu dan anak yang selalu bahagia setelah ini

Aron berlari menuju arrival hall menghampiri Tian yang juga sedang menunggu kedatangan Joan dan keluarganya

“Udah keluar, Yan?”

“Masih nunggu barang dulu kayaknya”

Aron mengangguk sambil matanya yang tak berhenti menatap pintu kedatangan. Nyaris 30 menit lamanya mereka menunggu, hingga Tian kemudian bersuara “Ron, itu ansel, joan”

Mata bulatnya bergerak mencoba melihat arah yang Tian tunjuk hingga kedua manik hitamnya bertemu dengan manik coklat itu, manik coklat indah yang nyatanya bahkan setelah 2 tahun lamanya mereka tidak bertemu masih bisa membuat jantungnya berdebar dengan gila

Aron tidak bisa menahan senyumnya ketika Ansel di sana melambaikan tangannya berlari dengan koper di tangannya membuat Aron ikut mendekat membuka tangannya, menyambut tubuh mungil Ansel yang kini sudah masuk ke dalam pelukannya

Keduanya berpelukan, memejamkan mata sambil menikmati kehangatan yang mereka berikan satu sama lain. Ansel dengan senang menghirup bagaimana aroma tubuh Aron selalu bisa membuatnya merasa tenang, pun Aron yang juga menikmati bagaimana dirinya dan juga Ansel bisa saling mendekap satu sama lain

Kini jarak sudah tidak lagi memisahkan mereka, dan Aron merasa bahagia ketika dirinya lagi-lagi berhasil membawa Ansel ke dalam pelukannya

Cukup lama mereka saling berbagi kerinduan, Aron akhirnya memutuskan untuk melepas pelukan mereka. Menatap wajah lelah Ansel sembari merapihkan anak rambut pria mungil itu

“Kok bisa ya, padahal cuma dua tahun gak ketemu”

“Huh?”

“Tapi kenapa malah tambah kecil ya, bukannya tanbah tinggi?”

“Mas Aron!” Ansel memukul dada bidang Aron pelan sementara Aron sendiri hanya tertawa kecil sebelum kemudian memegang kedua tangan yang lebih kecil, menatapnya dalam sebelum membiarkan tangan si mungil menyentuh dada bidangnya

“Kamu makin cantik, saya sampe deg-degan gini liat kamu”

Ansel mencoba menahan senyumannya sementara pipinya mulai merona membuat Aron terkekeh kembali memeluk tubuh mungil itu sambil sesekali mencium pucuk kepalanya

“Saya kangen banget sama kamu, Ansel”

“Aku juga, mas. Asal kamu tau, aku tuh setiap malem melukin jaket yang sengaja kamu tinggalin itu tau ngga?”

“Setiap malam?”

Ansel mengangguk

“Udah dua tahun gak dicuci berarti ya?”

Ansel memberi jarak, menjauhkan wajahnya dari dada bidang sang kekasih tanpa melepas pelukannya hanya untuk tersenyum mendongak dan menatap kekasih hatinya itu

“Engga, biar baunya kamu gak ilang”

Aron terkekeh, memberikan kecupan singkatnya pada hidung sang kekasih “Jorok”

Namun Ansel hanya tertawa kecil sebelum kembaluimenenggelamkan wajahnya pada dada bidang Aron. Aron sendiri tak keberatan, membalas pelukan Ansel dengan tulus hingga Tian, Joan, dan keluarganya berjalan mendekat

Melihat itu, Aron melepas pelukannya menyalami kedua orang tua Joan sebelum kemudian menatap Joan yang kini berdiri berdampingan, bergandengan tangan dengan Tian

“Saya belum ngucapin ini secara langsung, tapi selamat ya Joan, sudah menyelesaikan studinya dengan GPA tertinggi, gak heran, di JIS juga dulu nilai kamu sama Rio memang yang paling menakjubkan”

“Hehe, makasih, pak”

Aron hanya tersenyum kali ini memusatkan perhatiannya pada Sisi dan juga Teo – orang tua Joan – yang kini tengah menatapnya dan juga Ansel

“Jadi, gimana? Sudah kamu pikirkan matang-matang, sayang?” Sisi bertanya menatap Ansel dengan lembut, sementara Ansel mengangguk mengiyakan

“Udah, bunda sisi, Ansel bakal tinggal di rumah nemenin bunda”

Sisi hanya mengangguk sebelum kemudian menarik Ansel ke dalam pelukannya, pun Ansel yang dengan senang hati membalas pelukan hangat itu

“Jaga diri baik-baik ya, sayang. Jangan sampai sakit, harus makan teratur, minum vitamin juga, yang paling penting jangan lupa untuk terus hubungi bunda ya—”

Ansel mengeratkan pelukannya ketika dirinya bisa dengan jelas mendengar bahwa Bunda sisi mulai terisak pelan

”— kamu udah bunda anggap seperti anak bunda sendiri, jadi jangan lupain bunda ya, sayang?”

Mendengar itu Ansel juga mengangguk menitikkan air matanya

“Gak akan pernah bunda, Ansel gak akan pernah lupain bunda sisi, bunda yang selalu ada di setiap proses penyembuhan Ansel, makasih ya bunda, makasih untuk segalanya, Ansel sayang banget sama bunda”

Sisi mengangguk, melepas pelukannya sebelum kemudian mencium kening Ansel dengan lembut dan tersenyum setelahnya

Kemudian Teo – ayah Joan – juga mendekat, bergantian memberikan pelukannya pada Ansel “Kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungi ayah ya, nak. Ayah selalu siap kalau Ansel butuh, hm?”

Dalam pelukannya Ansel mengangguk “Makasih, ayah” sebelum kemudian dirinya melepas pelukan pria paruh baya itu

Lalu kini dirinya bergantian menatap Joan yang juga tersenyum, mendekat dan memeluk Ansel dengan tulus

“Sama kayak ayah sama bunda yang udah nganggap lo sebagai anaknya, gue di sini udah nganggap lo sebagai kakak gue, Ansel. Jadi, jangan pernah sungkan hubungi gue kalau lo butuh gue, okay?”

“Joan, makasih banyak ya karena udah nemenin dan selalu ada di sisi aku, kalau gak ada kamu, mungkin aku udah nyerah waktu itu”

Joan mengangguk sebelum kemudian melepas pelukannya “Bahagia selalu ya, sel. Gue sayang banget sama lo”

“Aku juga, joan”

Setelah itu, semuanya saling berpamitan, pun Aron yang mulai membantu Ansel untuk memasukkan barang-barangnya ke dalam bagasi. Setelah memastikan tak ada yang ketinggalan, keduanya masuk ke dalam mobil

Aron meraih tangan Ansel menatapnya dengan lembut “Siap, sayang?”

Ansel mengangguk dan Aron mulai menjalankan mobilnya untuk membawa keduanya ke kediaman orang tua Ansel

Aron berlari menuju arrival hall menghampiri Tian yang juga sedang menunggu kedatangan Joan dan keluarganya

“Udah keluar, Yan?”

“Masih nunggu barang dulu kayaknya”

Aron mengangguk sambil matanya yang tak berhenti menatap pintu kedatangan. Nyaris 30 menit lamanya mereka menunggu, hingga Tian kemudian bersuara “Ron, itu ansel, joan”

Mata bulatnya bergerak mencoba melihat arah yang Tian tunjuk hingga kedua manik hitamnya bertemu dengan manik coklat itu, manik coklat indah yang nyatanya bahkan setelah 2 tahun lamanya mereka tidak bertemu masih bisa membuat jantungnya berdebar dengan gila

Aron tidak bisa menahan senyumnya ketika Ansel di sana melambaikan tangannya berlari dengan koper di tangannya membuat Aron ikut mendekat membuka tangannya, menyambut tubuh mungil Ansel yang kini sudah masuk ke dalam pelukannya

Keduanya berpelukan, memejamkan mata sambil menikmati kehangatan yang mereka berikan satu sama lain. Ansel dengan senang menghirup bagaimana aroma tubuh Aron selalu bisa membuatnya merasa tenang, pun Aron yang juga menikmati bagaimana dirinya dan juga Ansel bisa saling mendekap satu sama lain

Kini jarak sudah tidak lagi memisahkan mereka, dan Aron merasa bahagia ketika dirinya lagi-lagi berhasil membawa Ansel ke dalam pelukannya

Cukup lama mereka saling berbagi kerinduan, Aron akhirnya memutuskan untuk melepas pelukan mereka. Menatap wajah lelah Ansel sembari merapihkan anak rambut pria mungil itu

“Kok bisa ya, padahal cuma dua tahun gak ketemu”

“Huh?”

“Tapi kenapa malah tambah kecil ya, bukannya tanbah tinggi?”

“Mas Aron!” Ansel memukul dada bidang Aron pelan sementara Aron sendiri hanya tertawa kecil sebelum kemudian memegang kedua tangan yang lebih kecil, menatapnya dalam sebelum membiarkan tangan si mungil menyentuh dada bidangnya

“Kamu makin cantik, saya sampe deg-degan gini liat kamu”

Ansel mencoba menahan senyumannya sementara pipinya mulai merona membuat Aron terkekeh kembali memeluk tubuh mungil itu sambil sesekali mencium pucuk kepalanya

“Saya kangen banget sama kamu, Ansel”

“Aku juga, mas. Asal kamu tau, aku tuh setiap malem melukin jaket yang sengaja kamu tinggalin itu tau ngga?”

“Setiap malam?”

Ansel mengangguk

“Udah dua tahun gak dicuci berarti ya?”

Ansel memberi jarak, menjauhkan wajahnya dari dada bidang sang kekasih tanpa melepas pelukannya hanya untuk tersenyum mendongak dan menatap kekasih hatinya itu

“Engga, biar baunya kamu gak ilang”

Aron terkekeh, memberikan kecupan singkatnya pada hidung sang kekasih “Jorok”

Namun Ansel hanya tertawa kecil sebelum kembaluimenenggelamkan wajahnya pada dada bidang Aron. Aron sendiri tak keberatan, membalas pelukan Ansel dengan tulus hingga Tian, Joan, dan keluarganya berjalan mendekat

Melihat itu, Aron melepas pelukannya menyalami kedua orang tua Joan sebelum kemudian menatap Joan yang kini berdiri berdampingan, bergandengan tangan dengan Tian

“Saya belum ngucapin ini secara langsung, tapi selamat ya Joan, sudah menyelesaikan studinya dengan GPA tertinggi, gak heran, di JIS juga dulu nilai kamu sama Rio memang yang paling menakjubkan”

“Hehe, makasih, pak”

Aron hanya tersenyum kali ini memusatkan perhatiannya pada Sisi dan juga Teo – orang tua Joan – yang kini tengah menatapnya dan juga Ansel

“Jadi, gimana? Sudah kamu pikirkan matang-matang, sayang?” Sisi bertanya menatap Ansel dengan lembut, sementara Ansel mengangguk mengiyakan

“Udah, bunda sisi, Ansel bakal tinggal di rumah nemenin bunda”

Sisi hanya mengangguk sebelum kemudian menarik Ansel ke dalam pelukannya, pun Ansel yang dengan senang hati membalas pelukan hangat itu

“Jaga diri baik-baik ya, sayang. Jangan sampai sakit, harus makan teratur, minum vitamin juga, yang paling penting jangan lupa untuk terus hubungi bunda ya—”

Ansel mengeratkan pelukannya ketika dirinya bisa dengan jelas mendengar bahwa Bunda sisi mulai terisak pelan

”— kamu udah bunda anggap seperti anak bunda sendiri, jadi jangan lupain bunda ya, sayang?”

Mendengar itu Ansel juga mengangguk menitikkan air matanya

“Gak akan pernah bunda, Ansel gak akan pernah lupain bunda sisi, bunda yang selalu ada di setiap proses penyembuhan Ansel, makasih ya bunda, makasih untuk segalanya, Ansel sayang banget sama bunda”

Sisi mengangguk, melepas pelukannya sebelum kemudian mencium kening Ansel dengan lembut dan tersenyum setelahnya

Kemudian Teo – ayah Joan – juga mendekat, bergantian memberikan pelukannya pada Ansel “Kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungi ayah ya, nak. Ayah selalu siap kalau Ansel butuh, hm?”

Dalam pelukannya Ansel mengangguk “Makasih, ayah” sebelum kemudian dirinya melepas pelukan pria paruh baya itu

Lalu kini dirinya bergantian menatap Joan yang juga tersenyum, mendekat dan memeluk Ansel dengan tulus

“Sama kayak ayah sama bunda yang udah nganggap lo sebagai anaknya, gue di sini udah nganggap lo sebagai kakak gue, Ansel. Jadi, jangan pernah sungkan hubungi gue kalau lo butuh gue, okay?”

“Joan, makasih banyak ya karena udah nemenin dan selalu ada di sisi aku, kalau gak ada kamu, mungkin aku udah nyerah waktu itu”

Joan mengangguk sebelum kemudian melepas pelukannya “Bahagia selalu ya, sel. Gue sayang banget sama lo”

“Aku juga, joan”

Setelah itu, semuanya saling berpamitan, pun Aron yang mulai membantu Ansel untuk memasukkan barang-barangnya ke dalam bagasi. Setelah memastikan tak ada yang ketinggalan, keduanya masuk ke dalam mobil

Aron meraih tangan Ansel menatapnya dengan lembut “Siap, sayang?”

Ansel mengangguk dan Aron mulai menjalankan mobilnya untuk membawa keduanya ke kediaman orang tua Ansel

Ansel berjalan masuk ke dalam studio Chanyeol yang tidak terlalu besar, namun cukup nyaman untuk ditinggali

“Kamu sewa studio ini, mas?”

Aron mengangguk “Dibantu Joan, awalnya aku dateng ke sini bener-bener tanpa persiapan, dan kebetulan Joan punya temen yang bisa sewain studionya jadi saya ambil”

“Tanpa persiapan?”

Dan mendengar pertanyaan Ansel membuat Aron tersenyum malu mengingat alasan apa yang membuatnya jauh-jauh datang ke sini

“Mas?”

“Kalau itu... Saya ceritain nanti, karena berkaitan sama apa yang mau saya tanyakan”

Ansel mengernyit sesaat sebelum akhirnya hanya mengangguk mengiyakan

“Kamu mau istirahat sekarang? Atau mau ngapain dulu mungkin?”

“Istirahat aja kali ya, udah malem, tapi aku gak bawa piyama”

“Saya kan abis beli beberapa kemeja, Ansel. Ada yang kebesaran, mungkin muat di kamu”

Ansel mengangguk sebelum kemudian akhirnya mengikuti Aron masuk ke dalam kamarnya. Aron membiarkan Ansel mengganti pakaiannya di kamar mandi sementara Aron sendiri mengganti pakaiannya di dalam kamar

Setelah keduanya selesai, keduanya sempat merasa canggung mengingat sudah lama sekali mereka tidak berada di dalam kamar yang sama

Kemudian Aron bergerak, naik ke atas ranjang sebelum kemudian menatap Ansel dengan lembut “Sini” menepuk sisi kosong ranjangnya meminta Ansel untuk ikut berbaring dan Ansel sendiri menurut

Ansel sempat merasa gelisah sebenarnya sampai akhirnya Aron menariknya, mendekap tubuhnya membuat yang lebih kecil merasakan kehangatan dan pelukan yang begitu tulus, perlahan Ansel bisa lebih rileks, membalas pelukan Aron menghirup wangi tubuh Aron yang mampu menenangkannya

Keduanya terdiam cukup lama hingga akhirnya Ansel adalah yang pertama kali bicara

“Mas?”

“Iya”

Hening terjadi selama beberapa detik hingga Ansel kembali bicara

“Ayah sama bunda, kabar mereka gimana?”

“They are fine”

Ansel terdiam beberapa saat, tidak bisa dipungkiri terlepas dia berhasil menghadapi masa lalunya dengan Aron, tapi ia belum sesiap itu untuk membahas orang tuanya, ingatan bagaimana keduanya dengan terang-terangan membencinya begitu membekas, tapi Ansel juga tidak bisa menyangkal bahwa jauh di dalam hatinya Ansel begitu merindukan keduanya

Merasakan keterdiaman Ansel, Aron sedikit memberi jarak pada tubuh keduanya, menatap wajah Ansel yang kini tangannya justru bergerak memainkan berbagai bentuk di dada bidang Aron, terlihat gugup

“Ansel?”

Ansel tidak menjawab, namun beberapa saat kemudian pria mungil itu kembali bersuara “Aku denger... Ayah di penjara ya, mas?”

Aron terdiam beberapa saat sebelum kemudian mengangguk

“Hm, ayah kamu nepatin janjinya untuk menyerahkan diri, masa tahanannya juga gak lama, pengacara Kenneth berhasil bantu meringankan hukuman ayah kamu, hanya 5 tahun penjara, sekitar 3 tahun lagi juga bebas”

Namun, seolah pernyataan itu tidak membuat Ansel lebih tenang, dirinya justru menghembus nafas pelan “Aku—jahat banget ya, mas?”

Dan secepat itu juga Aron menggeleng “Engga, itu memang suatu hal yang harus kamu bayar, lagian ayah kamu baik-baik aja, beliau masih bisa makan dan beristirahat dengan baik”

“Tapi pasti bunda sedih banget di rumah sendirian”

“Bunda kamu gak benar-benar sendirian kok, ada Rio yang setiap minggu dateng buat jenguk bunda kamu, kadang malah bantuin entah berkebun, belanja bareng”

Kemudian setelahnya Aron mencium pucuk kepala Ansel dengan lembut “Kamu punya teman-teman yang luar biasa, Ansel. Kamu gak perlu khawatir”

Ansel mengangguk setuju sebelum kemudian kembali merapatkan tubuhnya dengan Aron “Ngomong-ngomong kamu belum cerita, kenapa kamu bisa ke sini, terus tadi kata kamu kamu ke sini tanpa persiapan?”

Mendengar pertanyaan Ansel, Aron tertawa kecil membuat Ansel mengernyit dan sedikit menjauhkan tubuhnya untuk sekedar mendongak dan menatap wajah Aron yang terlihat sedang menahan malu

“Kenapa?”

“Karena sekarang saya merasa konyol sama pemikiran saya hari itu”

“Emang kamu mikirin apa sampe terbang ke sini?”

“Well— kamu mungkin gak tau tapi selama kita berjauhan, saya selalu minta update kamu dari dia, saya mengikuti semua perkembangan kamu Ansel dari hari pertama terapi sampai kamu punya teman baru yang namanya Dito itu—”

Ansel sepenuhnya memusatkan perhatiannya pada Aron sementara Aron kembali bercerita

”— awalnya saya gak berpikir lebih, sampai kamu akhirnya mulai kembali megang hp dan buka semua kontak dan sosmed kamu, terus kamu bisa upload tentang dito tapi gak satupun chat saya dibalas, cuma dibaca, kamu bilang dito favorite person kamu, dan saya liat tweet dia juga nyaris semuanya tentang kamu...”

“Wait— kamu ke sini karena cemburu sama dito?”

Dan Aron terkekeh “Iya, konyol ya?”

Ansel ikut tertawa kecil mendengarnya “Gak sepenuhnya konyol sih, mas, karena mungkin kalau kamu gak ke sini dan kita gak ketemu, aku kayaknya udah naksir beneran sama dito”

Setelahnya tawa Aron memudar dengan cepat menatap Ansel dengan tatapan tidak percaya

“Kamu serius?”

Ansel mengangguk “Mas, kamu tau, apa yang aku lewati bener-bener gak semudah itu, aku pikir aku bakal selamanya kayak gini, gak berani percaya sama orang—”

Ansel terdiam beberapa saat mencoba mencari kata-kata yang lebih baik untuk tidak menyinggung perasaan Aron

”— well lebih tepatnya ya aku memang gak berani berteman dengan siapapun, kecuali Joan sama Rio, waktu ketemu Dito, aku gak ada pikiran untuk bisa temenan sama dia, sampai akhirnya aku bisa ngerasain gimana tulusnya dia ke aku—”

”— selain Joan di sini, dia selalu ada setiap aku butuh, selalu berusaha buat menghibur aku di saat aku lagi sedih, siapa sangka dia bahkan yg memulai rutinitas face time setiap malem cuma buat bilang ke aku kalau aku udah jadi anak yang hebat, udah jadi anak yang baik, kalau aku udah melakukan yang terbaik setiap harinya—”

”— aku nyaman, mas, sama dia. Sampai hari di mana kamu pertama kali ngehubungin aku—”

Ansel terdiam beberapa saat menatap Aron yang juga sedang menatapnya serius, Ansel terkekeh pelan melihat wajah serius Aron sebelum kemudian kembali bicara

”— waktu itu, aku masih Ansel yang pengecut, masih Ansel yang punya banyak ketakutan, jadi waktu kamu ngechat hari itu, aku ngehapus nama kamu, karena yang aku lakuin adalah gimana caranya aku bisa ngehindarin kamu—”

“Kamu hapus nomor saya?”

Ansel terkekeh “Kamu dengerin dulu cerita aku sampai habis ya?”

Aron menghela nafas pelan, kemudian mengangguk

“Iya, aku hapus nomor kamu karena memang tujuan aku saat itu adalah ngelupain kamu, yang ada di pikiranku saat itu cuma kita udah gak ada hubungan apapun jadi aku cuma berusaha ngelupain kamu dan buka hati aku buat Dito—”

”— awalnya aku sempet berfikir aku udah mulai punya perasaan lebih ke Dito, sampai akhirnya kamu muncul, aku tau mas, aku cuma kangen sama kamu, perasaan aku ke kamu sama sekali gak pernah berubah terlepas dari apa yang pernah terjadi sama kita. Aku bahkan omongin ini juga sama Joan, dan ya sampai akhirnya kita bener-bener bisa ngobrol kayak sekarang”

Dan tepat setelahnya Aron memeluk Ansel dengan erat

“Kalau begitu saya harus banyak bersyukur karena kekonyolan saya hari itu kan, pergi ke sini tanpa persiapan apapun, saya mungkin bisa gila kalau kamu gak pernah kembali ke pelukan saya Ansel, seperti apa yang saya bilang sebelumnya, saya bisa kehilangan siapapun tapi saya gak akan pernah bisa kalau kehilangan kamu, saya gak akan pernah bisa”

Kemudian Aron kembali melepas pelukannya, menangkup wajah mungil Ansel dan menatapnya dalam “Terima kasih, terima kasih pada akhirnya kamu memilih untuk kembali pada saya, makasih banyak ya, sayang”

Ansel merona ketika Aron mulai mencium setiap bagian dari wajahnya hingga akhirnya keduanya kembali bertatapan sebelum keduanya saling memejamkan mata dan berbagi kasih di sana, dengan bagaimana Aron mencium Ansel dengan lembut, tanpa gairah, tanpa tuntutan dan paksaan, hanya ciuman penuh perasaan dan rasa rindu yang tak bisa dideskrisipkan hingga akhirnya keduanya berhenti

Mencoba mengatur nafas satu sama lain, tangan Ansel bertengger di dada bidang Aron dan wajahnya kian merona ketika dia bisa merasakan detak jantung Aron yang menggila membuat Ansel tidak bisa menahan senyumannya dan akhirnya memilih berbalik membelakangi Aron

Aron menyadari itu dan hanya bisa tertawa kecil merasa konyol karena tidak bisa mengontrol debaran jantungnya

Ansel sendiri masih tersenyum malu sebelum senyuman malu itu memudar berubah menjadi senyuman sendu ketika pandangannya tanpa sengaja menangkap sebuah bingkai di atas nakas

Tangannya terulur mengusap foto itu sebelum kemudian berujar dengan lembut “Anak kita” ya itu adalah usg pertama dan terakhir Ansel yang selalu ia bawa sejak Tian memberikannya

Aron memeluk tubuh Ansel dari belakang sementara kepalanya bersandar pada bahu pria mungil kesayangannya itu ikut menatap foto hitam putih yang begitu indah untuknya “Hm, anak kita”

“Kalau aja aku gak egois dengan mikirin perasaan aku sendiri, kalau aja aku sadar lebih cepet, anak kita pasti masih hidup, dia pasti udah bisa jalan, bisa ngoceh—”

Perkataannya terhenti ketika Aron bergerak mencium bahu Ansel kemudian mencium pucuk kepalanya

“Gak ada yang perlu disesali, Tuhan mengambil dia karena Tuhan lebih sayang sama anak kita, dan untuk setiap kehilangan pasti akan ada pengganti yang lebih baik, jangan sedih, hm?”

Ansel mengangguk mengembalikan bingkai foto itu ke atas nakas sebelum kemudian berbalik memeluk Aron dengan erat “Mas, aku sayang banget sama kamu”

“Saya juga Ansel, saya sangat sangat mencintai kamu”

Dan keduanya akhirnya, melewati malam bersama dengan saling berpelukan untuk saling berbagi perasaan dan kerinduan yang sudah lama terpendam.

Aron menarik kursi sebelum kemudian memutuskan untuk duduk di hadapan Ansel sepeninggal Dito dari sana

Kalau boleh jujur, Aron cukup cemburu menyaksikan bagaimana pria itu mencium pucuk kepala Ansel di depannya, tapi Aron tidak boleh egois kan? Dia harus mengesampingkan rasa cemburunya mengingat ada hal yang lebih penting dari pada rasa cemburu itu sendiri

Lagipula Ansel juga terlihat biasa saja ketika Dito menciumnya, bukankah itu menujukkan bahwa ciuman itu sama sekali tidak ada artinya untuk Ansel?

Okay, lupakan soal itu

Keduanya hening, tidak ada satupun dari Aron maupun Ansel yang berniat membuka percakapan, keduanya masih mepertahankan suaranya hingga Aron berdehem

“Apa kabar, Ansel?”

Okay, bukankah ia terdengar bodoh dan kaku, bisa-bisanya ia bertanya ketika ia sendiri bisa melihat bagaimana keadaan Ansel persis di depannya

Tapi ia sendiri tidak punya pilihan bukan, lebih baik bertanya dengan bodoh dari pada mempertahankan keheningan di antara keduanya

“Baik, mas. Mas sendiri?”

“Gak pernah sebaik hari ini”

Ansel menunduk mencoba menyembunyikan senyumannya sebelum kemudian pria mungil itu mencoba untuk mengontrol ekspresi wajahnya dan suasana kembali hening

Keduanya terlalu canggung hingga Ansel kali ini yang memecah keheningan

“Mas—”

“Iya?”

Dan sekarang Ansel menjadi gugup, pria mungil itu menunduk memainkan tangannya mencoba menarik nafas dan menghembuskannya perlahan

“Hari ini.. Sebenernya ada banyak hal yang mau dan harus kita omongin—” Ansel terdiam sejenak sebelum kemudian melanjutkan “—kayak gimana perasaan kita selama ini, terutama setelah kamu tau aku— ternyata yang udah bunuh kak Melan...”

Aron menggeleng “Ansel...”

“Mas, sebelumnya aku mau minta maaf—”

“Ansel..”

”— maaf karena kenakalan aku di masa lalu ternyata berujung ngebunuh banyak orang termasuk kak melan, aku gak akan ngasih pembelaan apapun tentang hari itu, karena memang aku pelakunya, aku yang udah bunuh kak melan malam itu, aku yang sebenarnya sumber luka kamu selama 2 tahun itu kepergian kak melan”

“Ansel please...”

Ansel sendiri seolah tak mau berhenti, tiba-tiba saja rasa sesak itu muncul bersamaan dengan air matanya yang mulai berlinang. Menghadapi masa lalu dan kesalahannya adalah hal yang berat, tapi Ansel harus karena ia ingin semuanya selesai dengan baik, karena Ansel ingin sepenuhnya menghilangkan rasa sakitnya

“Ansel, gak perlu dilanjut...”

“Hari itu, hari di mana kamu tau kalau aku pelakunya, kamu pasti kecewa banget ya, mas? Kamu pergi ninggalin aku, tapi aku justru dengan gak tau dirinya selalu minta kamu buat balik ke sisi aku, aku bahkan gak mikirin gimana perasaan kamu hari itu, yang aku pikirin cuma rasa sakit aku tanpa perduli kalau kamu juga sama sakitnya—”

“Ansel, udah”

”— aku minta maaf buat semuanya ya, mas, buat semua rasa sakit kamu di masa lalu, aku minta maaf karena udah ngambil kak melannya kamu, aku minta maaf karena gak perduli tentang apa yang kamu rasain saat itu, aku minta maaf karena udah jadi orang yang gak bertanggung jawab, aku minta maaf karena masih hidup sampai sekarang tanpa rasa malu di saat aku udah bunuh orang kesayangan kamu, kak melan, anak kita—”

Aron tidak tahan, dirinya berdiri berjalan sebelum kemudian berlutut tepat di samping Ansel, memaksa pria mungil itu untuk menoleh menatapnya

“Boleh saya ngomong, sweetheart?”

Dengan isakan lirihnya Ansel mengangguk membuat Aron tersenyum mengusap air mata kekasih hatinya itu dengan lembut

“Ansel, saya gak akan nyembunyiin apapun hari ini selagi memang tujuan kita bertemu hari ini adalah untuk berkomunikasi dan menyelesaikan semuanya, hari itu, saya gak akan menyangkal bahwa hal yang saya rasakan adalah kecewa yang begitu besar. Ansel, kamu tau semuanya juga gak mudah untuk saya, fakta bahwa saya ternyata mencintai seseorang yang ternyata punya keterkaitan dengan masa lalu saya—”

”— tapi ansel, terlepas dari rasa kecewa itu, saya hanya merasakannya sehari, karena di hari-hari selanjutnya saya kecewa dengan diri saya sendiri. Saya kecewa karena saya bahkan gak bisa mengambil keputusan apapun tentang hubungan kita, saya bahkan melawan hati saya sendiri saat itu Ansel, saya meninggalkan kamu hanya demi ego, sedangkan jauh di lubuk hati saya, saya paham bahwa saya sangat mencintai kamu—”

”— sampai akhirnya ego saya sendiri yang buat kamu menjauh. Ansel, kamu tau saya pernah merasa terluka karena kepergian melan, tapi luka itu sama sekali gak seberapa dengan luka ketika saya kehilangan kamu—”

Kini Aron menitikkan air matanya, mengusap pelan rambut Ansel dan tersenyum

“Jadi, tolong jangan pernah berfikir bahwa kamu pantas mati, jangan pernah merasa bersalah karena kamu hidup sampai sekarang. Ansel, saat itu saya bisa bertahan meski melan pergi, tapi saya gak akan pernah bisa bertahan kalau itu kamu—”

”— jadi, tolong untuk bertahan dan kita bahagia bareng-bareng ya, kita mulai semuanya dari awal, hm?”

Dan Ansel tidak bisa menahan dirinya untuk memeluk Aron yang masih berlutut di hadapannya “Mas, aku minta maaf”

“Engga, sayang, jangan minta maaf, kamu gak sepenuhnya salah, kita perbaiki semuanya bareng-bareng, ya?”

“Jangan tinggalin aku lagi”

“Engga, engga akan, saya gak akan pernah ninggalin kamu lagi, pegang omongan saya, kamu boleh bunuh saya kalau saya mengingkari apa yang saya katakan hari ini”

Ansel mengeratkan pelukannya menenggelamkan wajahnya di ceruk leher yang lebih tinggi “Aku cinta banget sama kamu, mas”

“Saya lebih mencintai kamu, Ansel”

Dan kini keduanya berpelukan, saling menyalurkan rasa rindu yang sudah cukup lama terpendam sementara Dito dari jauh hanya tersenyum sebelum kemudian bangun dari duduknya dan berlalu dari sana, meninggalkan Ansel dan Aron yang masih dalam pelukan kasih, sementara Dito berusaha mengusir rasa sesak yang tak pernah ia rasakan sebelumnya

Aron mengacak rambutnya frustasi, ia sudah berusaha mencari Ansel ke setiap sudut di rumah sakit bahkan hingga ke bangsal anak sekalipun, namun tidak sedikitpun Aron menemukan Ansel di sana, bahkan meski hanya sebuah jejak

Suasana begitu sendu, Ares juga tak henti-hentinya mencoba untuk menerima update dari anak buahnya untuk mencari di luar sekitaran rumah sakit barangkali anakanya lari ke luar rumah sakit

Hingga Joan masuk, tergesa menatap siapapun yang ada di ruang rawat inap Ansel “Rooftop, cctv rumah sakit nunjukkin Ansel naik ke atas, rooftop”

Dan Aron tidak butuh waktu lama untuk segera berlari secepat yang ia bisa, air matanya tertahan, ia tidak bisa dan tidak akan pernah bisa jika harus kehilangan Ansel

Hingga pria itu dan yang lainnya akhirnya tiba, dan Ansel di sana, terduduk di pinggir menatap hampa dengan salah seorang dokter dan beberapa perawat yang berusaha membujuk Ansel untuk turun dari sana, namun Ansel seolah tuli, pria mungil itu hanya tetap duduk di sisian tembok menatap hampa udara di depannya dengan tatapan kosong

“Ansel”

Dan suara Aron ternyata cukup untuk membuat Ansel mengalihkan perhatiannya, menatap pria itu cukup lama sebelum kemudian beralih menatap satu-satu setiap orang yang ada di sana, orang tuanya, Joan, Rio, Tian, Kenneth, Dokter Isha, dan berakhir menatap Aron

Setelah itu, Ansel tersenyum kembali menatap udara hampa di depannya sebelum kemudian menatap langit di atasnya

“Kalian pasti lagi nungguin aku loncat ya?”

Aron menggeleng meski Ansel tak melihatnya “Aku emang mau loncat kok, emang sengaja nunggu kalian ke sini dulu hehe, seru gak main petak umpetnya?”

Ansel terkekeh, tapi semua yang ada di sana tahu, Ansel sama sekali tidak bahagia, matanya mengatakan segalanya, anak itu sangat terluka, sangat sangat terluka

Perlahan Aron mendekat, dan pergerakannya ditangkap jelas oleh Ansel membuat pria mungil itu lagi-lagi terkekeh

“Uh? Mas Aron ngapain deket-deket? Mau dorong aku?”

Aron jelas menggeleng, namun secepat itu juga Ansel berdiri membuat semua orang menjerit takut, takut bahwa Ansel benar-benar akan loncat dari sana

“Sabar dong, mas. Sebentar lagi aku loncat kok...”

Melihat pergerakan Ansel, Dokter Isha – dokter psikistri – Ansel mendekat ke arah Aron, menahan pria itu untuk lebih dekat atau semakin membahayakan Ansel

“Ansel, turun ya, kamu gak akan dapet apa-apa selain rasa sakit ketika kamu jatuh, di bawah sana sama sekali gak menyenangkan...” dokter Isha mencoba bicara namun Ansel menggeleng

“Di bawah emang gak menyenangkan, tapi bakal menyenangkan karena aku bisa ketemu semua orang—”

”— aku bisa ketemu kak Leon, kak Melan, dan anak aku —”

Matanya berlinang, kali ini beralih menatap Aron “— ketemu anak kita”

Dan tepat ketika maniknya bertemu dengan manik milik Aron, Ansel menitikkan air mata, sementara Aron masih dalam keterkejutannya dengan apa yang Ansel ketahui, pun semua orang yang sama terkejutnya dengan Aron

”—aku udah terlalu banyak dosa, aku udah bunuh kakakku dan buat orang tuaku sedih, aku udah bunuh kak melannya mas aron, bahkan aku udah bunuh anakku sendiri—”

”—di atas sana, nanti kalau aku ketemu mereka, aku mau minta maaf, aku mau bilang sama kak leon kalau ayah sama bunda sayang banget sama dia, aku mau ketemu kak melan dan bilang kalau mas aronnya merasa kehilangan banget di sini, aku mau minta maaf karena harus ngejauhin dia dari mas aron, dan aku mau minta maaf sama anakku karena mereka harus pergi sebagai anakku—”

Ansel terdiam untuk beberapa saat, sebelum kemudian kembali bicara “—banyak hal yang harus aku tebus, banyak nyawa yang harus aku tebus, apa yang aku lewatin di dunia gak pernah cukup buat mereka yang ditinggalkan, jadi, nyawa emang harusnya dibalas dengan nyawa kan?”

“Engga”

Kali ini Ares bersuara, semua orang menoleh termasuk Ansel yang kini menatap ayahnya sudah menangis

“Gak ada nyawa yang perlu ditebus, gak ada, siapapun, gak ada. Nak, ayah minta maaf, ayah tau ayah udah jahat sama kamu, kamu bisa hukum ayah sesuka kamu tapi engga dengan cara kayak gini, cukup ayah dan bunda kehilangan Leon, ayah gak mau kehilangan kamu”

Dan yang dilakukan Ares selanjutnya membuat semua orang terdiam ketika pria itu duduk berlutut memohon kepada anak bungsunya

“Ayah mohon nak, jangan begini, ayah gak mau kehilangan anak ayah lagi”

Dan Ansel kembali menitikkan air matanya

“Ayah bilang, aku bukan anak ayah lagi—”

Ares menggeleng

”—ayah bilang... Harusnya hari itu aku yang ada di posisi kak leon—”

Ares menggeleng, terisak pelan menyesali kebodohannya di masa lalu

”—ayah bilang... Aku cuma anak yang gak berguna—”

“Ayah minta maaf nak, ayah minta maaf, ayah salah, kamu selalu jadi anak ayah, kamu anak yang ayah cintai, ayah minta maaf, sayang. Turun ya, ayah mohon”

Namun Ansel menggeleng “Aku capek ayah”

“Aku capek harus hidup kayak gini—”

”—bukannya kalau aku pergi dan nebus nyawa semua orang, itu lebih baik. Aku lepas dari semua rasa sakit aku, kalian juga bakal puas bahwa pembunuh ini juga akhirnya mati, pembunuh yang gak pantas hidup dan dicintai ini akhirnya pergi—”

“Ansel, berhenti, saya mohon”

Aron juga sudah menangis di sana, meminta Ansel untuk berhenti mengatakan apapun

“Cukup, gak ada yang harus pergi, gak ada yang harus ditebus. Saya minta maaf, buat semuanya, buat semua rasa sakit yang kamu rasain, saya minta maaf, kita semua adalah orang yang seharusnya nebus rasa sakit kamu, bukan kamu, setelah ini saya janji, kamu gak akan pernah ngerasain semua itu, gak akan ada yang ninggalin kamu lagi, kamu punya orang tua kamu, kamu punya saya...”

”— kamu juga bilang begini sebelumnya, mas, kamu bilang aku orang yang berhak bahagia, kamu bilang kamu bakal selalu di sisi aku, kamu gak akan pernah ninggalin aku, tapi kenyataannya gak kayak gitu, kamu ninggalin aku, bukannya kamu balik setelah aku bilang aku bakal nebus nyawa kak melan?”

Aron menggeleng

“Kamu gak ada kabar berminggu-minggu, tapi setelah aku bilang aku mau nebus nyawa kak melan, kamu datang... Mas, bukannya itu nunjukkin kalau memang kepergian aku yang kamu mau?”

Aron menggeleng keras namun Ansel memalingkan wajah, pria mungil itu melihat ke bawah membuat dokter Isha dan beberapa perawat mulai mendekat perlahan

“Ansel lo gak mikirin gue sama rio, kita berdua selama ini apa buat lo, lo kehilangan banyak hal tapi lo ga pernah kehilangan kita berdua, ansel gue mohon jangan kayak gini” Joan menangis namun Ansel menulikan pendengarannya, pria mungil itu hanya terus menangis dalam diam sebelum kemudian menutup matanya

Dia tidak bisa lagi hidup seperti ini. Ansel lelah, ia benar-benar lelah, ia hanya ingin pergi dan bertemu dengan Leonnya serta membayar semua dosanya

Hingga di atas perbatasan tembok itu, Ansel melangkah kecil membuat semua orang menjerit, matanta tertutup dan dengan cepat pria mungil itu menjatuhkan diri

Namun, pergerakan Aron lebih cepat dari siapapun, pria itu dengan sigap menarik Ansel hingga tubuh rapuh itu jatuh menimpanya, Aron bahkan tidak memperdulikan bagian kepalanya yang terbentur atap, yang ia pikirkan adalah bagaimana ia harus menahan dan memeluk Ansel dengan erat

“Lepasin aku, jangan gini tolong aku capek, lepass”

Dan secepat itu juga perawat bergerak, tanpa punya pilihan kembali memberikan bius yang dengan cepat membuat Ansel kembali tidak sadarkan diri

Aron terisak pelan memeluk tubuh Ansel dengan erat. Ia tidak akan kehilangan lagi, cukup melan dan calon anaknya dengan Ansel, Aron tidak akan pernah sanggup kalau dirinya harus kehilangan Ansel juga

Hari itu semuanya dipenuhi tangisan, dan Ansel dikembalikan ke ruang rawatnya lagi dalam keadaan terikat.

“Hyun?”

Baekhyun yang pada awalnya terfokus dengan ponsel di tangannya, kini mendongak menatap Chanyeol yang tersenyum berjalan ke arahnya dengan satu kantung plastik di tangannya

“Lama banget sih, mas”

Baekhyun cemberut dan itu sukses membuat Chanyeol terkekeh “Rame, Hyun. Jadi tadi agak lama pas beli makanan, kenapa sih? Kangen?”

Yang ditanya mengangguk lucu membuat Chanyeol tersenyum lembut meletakkan plastik makanannya dan juga susu milik Baekhyun di atas nakas sebelum kemudian memilih mendekat dan mulai menarik suami mungilnya ke dalam pelukannya

Baekhyun sendiri menikmatinya, menghirup dalam-dalam wangi tubuh Chanyeol yang persis seperti apa yang ingat dan pria mungil itu segera mengeratkan pelukannya untuk memastikan bahwa Chanyeolnya ada di sana, yang sedang memeluknya sekarang adalah pria yang sangat ia cinta

Chanyeol sendiri terkekeh, mengusap kepala Baekhyun dengan lembut “Kamu sekangen itu sama saya, ya?”

Baekhyun mengangguk membuat Chanyeol terkekeh “Siapa suruh tidur dua hari, huh?”

“Ya, aku juga gak mau tau! Mana mimpi aku serem banget dan bener-bener kerasa nyata. Aku sampe bingung yang sebenernya lagi aku rasain sekarang mimpi atau realita”

“Mimpi apa sih emang?” masih dengan tangannya yang setia mengusap kepala sang suami, sementara Baekhyun semakin menyandarkan kepalanya di perut Chanyeol dengan nyaman, terlihat belum ingin bercerita membuat Chanyeol tetap diam membiarkan Baekhyun bercerita kapanpun pria mungil itu siap

“Mas?”

“Apa, sayang?”

Baekhyun diam sebentar sebelum kemudian kembali bersuara “Kamu sayang gak sama aku?”

“Kenapa kamu nanya yang gak perlu? Kamu paling tau jawabannya”

Namun, jawaban Chanyeol membuat Baekhyun cemberut sedih, mendongakkan kepalanya “Jawab aja”

Chanyeol terkekeh mengangguk “Sayang”

“Seberapa banyak?”

“Semesta juga gak bakal sanggup nampung rasa sayang saya buat kamu, Hyun”

Dan Baekhyun merona, mengalihkan pandangannya merasa malu dengan yang Chanyeol katakan membuat Chanyeol pada akhirnya berpindah, kali ini duduk di tepian ranjang suaminya

“Kamu kenapa sih? Kayaknya gak tenang banget setelah bangun?” tangan besarnya terulur, merapihkan anak rambut suaminya dengan tulus “Gak mau cerita kamu mimpi apa?”

Baekhyun terdiam beberapa saat sebelum akhirnya bersuara “Aku mimpi buruk, mas, buruk banget sampe setiap perasaan yang aku rasain di dalam mimpi bisa aku rasain...”

”...aku mimpiin keadaan rumah tangga kita, di mana kita nikah karena perjodohan, kamu masih belum bisa lupain kak Elen sampai di mana kak Elen akhirnya balik dari amerika, terus kamu balikan sama dia karena kamu muak sama aku, kamu muak karena aku banyak ngeluhnya, terlebih aku susah hamil, terus resenya aku liat dengan jelas gimana kamu berhubungan badan sama kak Elen...”

“Hah? Kamu mimpi begitu?”

Baekhyun mengangguk kesal “Sedihnya lagi kamu malah sempet punya anak sama dia, ya— walaupun ternyata kamu juga cuma dimanfaatin, tapi tetep aja, sedih banget rasanya kamu ninggalin aku dalam keadaan hamil...”

Baekhyun menunduk, terlihat ketara kesal memainkan jemarinya “...hubungan kita tuh hancur banget, mas, aku udah terlanjur benci sama kamu, terus aku mau nikah sama mas Jongin, kamu ngelakuin hal-hal yang nyakitin diri kamu sendiri, sampe sakit-sakitan, sampe yang paling nyesek tuh...”

Dan yang lebih kecil mulai membendung air matanya “...masa kamu pergi, mas. Pergi selamanya, ih, mas aku takut” dan melihat Baekhyun yang akan menangis membuat Chanyeol dengan gerakan cepatnya mendekap tubuh mungil Baekhyun yang dengan segera dibalas dengan pelukan erat

“Mas, mimpinya kayak nyata banget, aku takut, kamu jangan pernah ninggalin aku ya? Jangan main sama orang lain kalau kamu muak sama aku. Jangan pergi ninggalin aku selamanya, pokoknya kalau ada apa-apa kamu bilang ya, mas. Aku takut banget”

Chanyeol tersenyum lembut mengusap punggung Baekhyun berusaha menenangkan

“Gak ada yang perlu kamu takutin, hyun. Mimpi kamu itu cuma omong kosong, apalagi tentang hubungan saya sama Elen, Elen memang masa lalu saya, tapi kamu sendiri yang paling tau gimana perasaan saya sekarang, kamu ingat, waktu kita berdua ketemu dia sama Mr. Wang, kamu sendiri yang nyaksiin gimana aku sama Elen ketemu cuma untuk menyelesaikan hubungan kami, kamu ingat?—”

Baekhyun mengangguk, ya ia ingat itu, ia ingat di awal-awal pernikahan ketika Elena akhirnya kembali dari Amerika, meminta Chanyeol untuk bertemu dan menyelesaikan kesalahpahaman mereka. Di mana perempuan itu menjelaskan alasannya meninggalkan Chanyeol, yang mana saat itu pekerjaan ayahnya mengharuskan Elena untuk ikut pindah ke Amerika, bagaimana Elena benar-benar mengidap penyakit kanker darah dan butuh pengobatan yang lebih memadai, dan Elena sendiri berusaha untuk tidak membuat Chanyeol mengkhawatirkannya dan tidak ingin kembali menerima bantuan materi dari sang kekasih

Dan di hari yang sama ketika mereka bertemu, hari itu juga mereka saling menyelesaikan hubungan di mana Chanyeol dengan lantang memperkenalkan Baekhyun sebagai suaminya, pun Elena yang memperkenalkan Jackson sebagai suaminya

Dan semenjak itu Baekhyun berteman dan berhubungan baik dengan Elena

”— terus kamu tega banget, Hyun. Bisa-bisanya, kamu mimpiin saya berhubungan intim sama perempuan lain?”

“Ya, aku kalo bisa request juga maunya mimpiin kamu sama aku”

Chanyeol terkekeh mencubit pelan pipi gembul suaminya dengan gemas sementara Baekhyun hanya mengerucutkan bibirnya sebal

”— dan lagi, saya gak punya alasan untuk merasa muak ketika saya memiliki suami sesempurna kamu, kamu cantik, kamu pendengar yang baik, kamu selalu ngasih semua bentuk perhatian yang saya butuhkan, kamu udah memberikan saya segalanya hyun, termasuk Yuan dan adek bayi—” kata Chanyeol yang kali ini tangannya terulur mengusap pelan perut Baekhyun yang sedikit menonjol

”— gak ada alasan saya untuk merasa muak apalagi meninggalkan kamu, hidup saya, nafas saya, kebahagiaan saya, semuanya sempurna karena kamu”

Baekhyun merasa dadanya menghangat dan perasaannya menjadi lebih lega apalagi bagaimana Chanyeol juga berusaha memberikan ketenangan sefara fisik, mengusap kepalanya dan memberikan tatapan teduhnya untuk meyakini

“Mimpi kamu cuma mimpi kosong, keadaannya kamu lagi sakit, kamu bahkan gak sanggup bangun selama dua hari dan akhirnya mulai mimpi yang engga-engga, apalagi nikah sama Jongin...”

Dan setelahnya Baekhyun terkekeh mengingat mimpi konyolnya

”...kamu aja drop begini karena kecapean dan sibuk ngebantuin acara pernikahan Jongin sama Kyungsoo kan? Apalagi pas hari H nya, kamu paling ribet ngawasin katering, ngurusin tamu undangan, bantu ngedekor. Tumbang juga kan akhirnya di bandara pas pulang, apalagi kamu sempet pendarahan, nangis saya hyun kalau inget 2 hari yang lalu tuh”

“Oh? Aku sempet pendarahan, mas?”

Chanyeol mengangguk

“Tapi adek bayi gapapa, kan?”

“Detak jantungnya sempet lemah, tapi kata dokter gapapa, makanya kamu harus bed rest beberapa hari buat dapet treatment medis yang tepat”

Baekhyun hanya mengangguk “Yuan mana, mas? Aku kangen banget sama anakku”

“Yuan di rumah bunda, waktu kamu pendarahan Yuan nangis, di rumah sakit juga nangis mulu karena kamu gak bangun², jadi biar suasana kondusif, Yuan sementara dititipin dulu di bunda”

Baekhyun mengangguk mengerti meski dengan raut sedih, namun Chanyeol hanya tertawa kecil dan mencium bibir mungil suaminya untuk menarik perhatian

“Jangan sedih, besok saya jemput Yuan ke sini”

“Kenapa gak sekarang aja?”

“Kalo sekarang biar kita punya waktu berdua dulu...” Baekhyun tersenyum ketika Chanyeol dengan lembut membaringkan tubuh mungilnya sebelum kemudian pria itu ikut berbaring dan menatap matanya penuh cinta “...semenjak punya Yuan tuh, kita jarang banget berdua gini, prioritas kamu Yuan bukan aku lagi”

“Uhh, jadi ini ceritanya ayah cemburu sama Yuan, iya?”

“Iyalah, cemburu berat. Kalo makan kamu selalu fokusnya sama Yuan, lagi punya waktu luang juga yang dicari Yuan, tidur juga melukinnya Yuan...”

“Haha, mas, tolong gak usah cemburu begini ah, gak cocok sama umur”

“Cemburu mah gak mandang umur kali, kalau cinta umur 100 tahun juga wajar cemburu”

“Ya tapi masa cemburu sama anak sendiri???!!”

Chanyeol terkekeh merapatkan tubuhnya memberikan ciuman bertubi-tubi pada wajah mungil suaminya sebelum kemudian pria itu berhenti, terdiam menatap Baekhyun dengan lamat

“Saya sayang banget sama kamu, Hyun”

“Gak perlu dijawab, kamu juga tau kan, gimana perasaanku?”

Chanyeol tersenyum “Saya mencintai kamu”

“Me too, even more”

Baik Chanyeol maupun Baekhyun terkekeh sebelum kemudian keduanya saling merapatkan tubuh dalam posisi berbaring menyamping dengan tangan Chanyeol yang bertengger di pinggang ramping Baekhyun sementara Baekhyun meremat kuat lengan kekar suaminya

Bibir mereka berasatu, saling melumat tanpa nafsu, namun sarat akan rasa cinta yang semakin besar setiap harinya. Mereka berjanji untuk menua bersama dan saling mencintai

Keheningan menyelimuti perjalanan mereka hari itu. Jongin yang menyetir dengan perasaan tak karuan, Yuan – yang dengan polosnya masih tertidur pulas di baby car seat di belakang, sementara Baekhyun dengan pikiran dan perasaannya yang tak bisa dijelaskan

Rasanya sesak ketika terlebih ketika Jongin mengatakan bahwa Chanyeol ditemukan di kantor semalam, dalam keadaan terbaring dengan mulut berbusa

Chanyeol mengakhiri hidupnya

Tatapannya memandang kosong keluar jendela, tanpa sadar menitikkan air matanya ketika lagi-lagi perasaan yang tak bisa ia jelaskan terus menyerangnya, hatinya sakit, hatinya pedih, rasanya terlalu sesak bahkan hingga rasanya ingin mati, semua perasaan yang ia benci datang bertubi-tubi, bagaimana ia merasakan kekosongan dan kehampaan yang begitu nyata

“Hyun?”

Baekhyun menghapus air matanya menoleh ke arah Jongin yang juga terlihat sama berantakannya

“Udah sampe”

Dan Baekhyun menoleh ketika menyadari bahwa mereka pada akhirnya sampai di rumah duka, cukup lama si mungil menatap pada akhirnya Jongin mengusap pundaknya lembut “Kita turun ya?”

Baekhyun mengangguk pelan, melepas seatbeltnya, berbarengan dengan Jongin yang beralih ke kursi belakang, mencoba menggendong Yuan yang pada akhirnya terbangun dan mulai terusik

“Daddy?”

“Ng?”

“Kita di mana?”

“Kita ketemu ayah ya?”

“Ng? Ayah?” Jongin mencoba menahan tangisannya ketika melihat bagaimana dalam gendongannya, Yuan mengusap wajah dan matanya berkali-kali “Kita mau main sama ayah, dad?”

Jongin hanya tersenyum lirih, pun Baekhyun yang hanya bisa menunduk merasakan perih ketika mendengar bagaimana Yuan bertanya dengan begitu polos

Jongin mendekat, dengan satu tangannya menggendong Yuan dan satu tangannya yang lain meraih tangan Baekhyun, menggenggamnya memberinya usapan pelan berusaha untuk menguatkan

Mereka berjalan beriringan, dan suasana kabung langsung begitu kerasa, Baekhyun merasakan jantungnya bertalu dengan keras ketika di dalam beberapa tangisan terdengat begitu jelas dan itu membuat Baekhyun semakin mengeratkan genggamannya pada Jongin

Mereka melangkah, semakin masuk hingga berada di depan ruang penghormatan dan di sana ada Luhan yang sedang menenagkan Sehun yang tengah menangis

“Se?”

Si empunya nama menoleh, “Jong...” dan kedua pasang sahabat itu berpelukan, dan ini pertama kalinya Sehun menangis terisak lirih

“Jong, Chanyeol udah gaada...”

Jongin menitikkan air matanya, menganggu dengan satu tangannya melepas genggaman Baekhyun dan mengusap punggung sahabatnya

Jongin paham semua orang merasa begitu kehilangan, tapi Jongin yakin, Sehun yang paling menyimpan banyak luka di sana mengingat bagaimana Sehun yang selama ini selalu berada di sisi Chanyeol, bahkan menjadi orang pertama yang menemukan Chanyeol dalam keadaan tidak bernafas

Sementara Luhan hanya memberikan senyum tipis menatap Baekhyun yang kini juga menatapnya perih, hingga Sehun akhirnya melepas pelukannya, terisak pelan bersamaan dengan Jongin yang mengusap lengannya pelan

“Gue masuk dulu ya, nanti gue ke sini lagi...” Sehun tidak menjawab, hanya tetap terisak pelan hingga Jongin kali ini menatap Luhan

“Titip Sehun ya, Lu”

Luhan hanya mengangguk

Jongin kembali meraih tangan Baekhyun, menggenggamnya dan beriringan berjalan ke dalam ruang penghormatan dan di sana ada Taehee dan juga Youngjae – papa dan mama Park – yang tengah menangis dan saling menguatkan, juga beberapa kerabat keluarga yang tidak menyembunyikan kesedihan mereka

“Ayah?”

Jongin menoleh ke arah Yuan yang menunjuk sebuah foto Chanyeol yang tengah tersenyum dengan tumpukan bunga di sekitarnya

Samar, Jongin merasakan genggamannya semakin erat membuat pria itu menoleh untuk melihat bagaimana Baekhyun berusaha untuk tidak menitikkan air matanya ketika netranya terfokus pada peti terbuka di depan foto dan tumpukan bunga tersebut

“Hyun...”

Baekhyun menunduk, mengangguk seolah paham bahwa Jongin mengajaknya untuk memberikan salam penghormatan terakhir

Baekhyun dan juga Jongin akhirnya mendekat, menurunkan Yuan dari gendongannya untuk sementara dan mulai melakukan penghormatan terakhir mereka, sebelum kemudian Jongin kembali menggendong Yuan yang masih menunjukkan wajah bingungnya, kemudian menatap Baekhyun

“Mau liat?”

Baekhyun menunduk menggeleng lemah sementara Jongin mengangguk mengerti, dengan perasaan tak karuan mendekat, membawa Yuan dalam gendongannya untuk melihat sang ayah

“Ayah!” Yuan terlihat antusias, namun hanya beberapa detik ketika dirinya menyadari bahwa sang ayah tidak menyahutinya sama sekali

“Dad, ayah tidul?”

Jongin menatap wajah pucat Chanyeol lamat, menahan air matanya sebelum kemudian menatap Yuan dan tersenyum lirih mengangguk

“Tapi kenapa tidulnya pake baju kantol? Kok muka ayah putih banget ya, dad?”

Jongin hanya tersenyum

“Ayah? Ayah main yuk?” dan Jongin tak kuasa menahan tangisnya ketika dengan lirih ketika Yuan yang tidak mengerti apapun terus berusaha membangunkan sang ayah

Tak berbeda dengan Jongin, Baekhyun di belakang juga menangis pelan, merasakan sesak luar biasa mendengar bagaimana putranya terus memanggil sang ayah hingga suara seorang panitia pemakaman menginterupsi

“Prosesi pemakaman akan segera dilakukan, peti akan ditutup dalam 10 menit”

Dan tepat setelah mendengar itu Jongin kembali menurunkan Yuan sebelum kemudian mendekat, menatap wajah sahabatnya lirih dengan tangisan pelannya mencoba untuk bicara “Yeol, gue bawa Yuan nih, lo— gak mau bangun?”

Air matanya benar-benar tidak bisa ia bendung

“Yeol, bahagia di sana ya? Maaf, belom bisa jadi sahabat baik yang bisa nemenin lo di waktu-waktu sulit lo, makasih karena pernah berusaha buat bertahan hidup, you will always be missed, yang tenang ya, gue bakal jagain Yuan sama Baekhyun di sini”

Masih dengan air mata yang mengalir, Jongin menggendong Yuan “Cium ayah, sayang”

“Daddy kenapa nangis?”

Jongin hanya tersenyum “Yuan mau cium ayah? Sebelum ayah ketemu Tuhan”

“Uh? Ketemu Tuhan, ayah mau pelgi ke langit? Kenapa jauh banget?”

“Karena— Tuhan sayang sama ayah, makanya ayah harus ke langit buat ketemu Tuhan”

“Tapi— ayah balik gak, dad? Ayah nanti masih bisa main sama Yuan gak?”

Jongin menangis namun tetap tersenyum dan mengangguk “Kalau— kalau Yuan jadi anak baik, ayah bakal sering nyamperin Yuan di dalam mimpi, makanya Yuan— jadi anak baik ya?”

“Ung!! Yuan mau cium ayah, dad”

Dan setelahnya Jongin mendekat, mencoba mendekatkan posisi Yuan dengan sang ayah “Ayah, kata daddy ayah mau pelgi ke langit ya?...”

Di belakang Baekhyun menunduk dalam, mengepalkan tangannya kuat mendengar perkataan putranya

”...tapi kata daddy, ayah ke langit karena Tuhan sayang ayah, ayah nanti seling pulang ya, main sama Yuan, ayah... yuan sayang sama ayah”

Dan dengan sedikit bantuan Jongin, Yuan berhasil mengecup pelipis sang ayah dan setelahnya Jongin memeluk Yuan dan menangis pelan

Baekhyun sendiri akhirnya bangun, meruntuhkan egonya mendekat demi melihat wajah pria yang masih menempati tempat tertinggi di hatinya untuk terakhir kalinya, mendekat dan mulai bersuara lirih

“Mas...”

Dan nafasnya tercekat ketika nyatanya dadanya benar-benar terhimpit “...aku— bukan pergi kayak gini yang aku maksud...”

Baekhyun membiarkan dirinya menangis “Aku minta maaf— ” kemudian Baekhyun mendekatkan wajahnya menatap wajah tenang Chanyeol lembut, dengan pelan tangannya terangkat, mengusap pelan pelipis Chanyeol

“Aku minta maaf— maaf, tolong hidup yang tenang dan sering dateng ke mimpiku ya, mas?”

Baekhyun menangis “Perasaan aku gak pernah berubah, maaf aku udah egois, aku sayang sama kamu, aku masih cinta sama kamu, mas” dan untuk terakhir kalinya Baekhyun mendekat menncium dahi Chanyeol dengan lembut

“Peti akan ditutup sekarang” dan saat itu semua orang terisak, orang tua Chanyeol, Sehun yang kembali masuk untuk melihat sahabatnya untuk terakhir kali dan Baekhyun yang pada akhirnya menangis terisak, meluapkan semua kesedihannya, menatap peti milik Chanyeol yang akan segera di tutup

“Mas Chanyeol...” dan pada akhirnya Baekhyun kembali mendekat tidak bisa menahan perasaannya “Engga, mas, aku minta maaf, ayo bangun, kamu mau minta kesempatan kan? Aku kasih, mas, tolong, aku butuh kamu, Yuan butuh kamu, mas...”

“Peti akan kami tutup sekarang”

“Engga, mas, aku minta maaf, mas, jangan tinggalin aku, ayo kita bahagia bertiga—”

Jongin mendekat, mencoba menarik Baekhyun menjauh untuk menenangkan

“Hyun...”

”— engga, mas, jangan hukum aku kayak gini, mas chanyeol aku minta maaf...”

Hingga perlahan peti itu mulai ditutup

“Engga, mas Chanyeol... Mas Chanyeol!”

“Hyun? Hey, sayang?”

“Mas?!!” dan Baekhyun membuka matanya, merasakan wajahnya basah oleh air mata sebelum kemudian dirinya terdiam ketika melihat bagaimana Chanyeol terduduk di sisi ranjangnya terlihat khawatir

“Sayang, kenapa? Kamu mimpi buruk? Sampe nangis gini?”

“M-mas Chanyeol?”

“Kenapa? Ada yang sakit? Pusing? Perut kamu kram lagi?”

Baekhyun terdiam mencoba mencerna apa yang terjadi “Sayang?”

“Mas, kamu— di sini?”

“Of course, suami saya sakit, saya sudah pasti di sini, nemenin kamu, apalagi kamu udah 2 hari tidur sampe dokter ngasih nutrisi lewat infus, saya sempat merasa begitu khawatir, tapi kata dokter kamu cuma mengistirahatkan diri aja, capek banget ya?” tangan besarnya terulur mengusap kepala Baekhyun dengan lembut

“Ngomong-ngomong, kamu di sini dulu sebentar ya, saya mau ngabarin dokter dulu, biar kamu diperiksa lebih lanjut”

Chanyeol baru saja akan pergi namun Baekhyun menahan tangannya “Kenapa sayang?”

Dan Baekhyun mengernyit ketika menyadari bahwa tidak ada bekas luka apapun di tangan Chanyeol, tidak ada luka sayatan, tidak ada luka bekas sundutan rokok di sana

“Sebentar ya, saya mau ngabarin dokter, ga bakal lama kok, okay?” lagi Chanyeol mendekat dan mengecup bibir Baekhyun dengan lembut “Sebentar ya” dan setelahnya meninggalkan Baekhyun yang terdiam di tempatnya mencoba mencerna apa yang terjadi

“Tadi itu— cuma mimpi?” Baekhyun membatin

Kemudian menjadi semakin bingung ketika pria mungil itu mengingat bagaimana Chanyeol menyebutnya suaminya

“Suami— perceraiannya... juga mimpi?”

Baekhyun melangkahkan kakinya ke dalam restaurant yang Jongin kirimkan sebelumnya, matanya menelusur mencoba mencari Jongin yang katanya sudah bersama Yuan di restaurant tersebut

“Selamat malam, selamat datang di La Yeon Restaurant, ada yang bisa saya bantu?”

“Ah— itu sebenarnya saya lagi nyari tunangan saya”

Pelayan itu mengangguk tampak kemudian memeriksa ponsel sistem milik restaurant tersebut sebelum kemudian kembali mendongak menatap Baekhyun dan tersenyum ramah “Mohon maaf sebelumnya, apa anda Tuan Byun Baekhyun?”

“Uh?—” tampaknya Baekhyun agak sedikit terkejut ketika waiter di depannya menyebut namanya “— ya, saya Byun Baekhyun”

“Baik, sebelumnya saya mendapat konfirmasi bahwa hari ini ada reservasi private dining atas nama Kim Jongin dengan mencantumkan nama anda sebagai tamu, jika anda berkenan mari ikuti saya”

Baekhyun mengerutkan dahinya bingung “Private dining?”

“Iya, Tuan”

Baekhyun agak merasa aneh sebenarnya, tidak biasanya Jongin mengajaknya makan malam secara privat seperti ini, tapi pria mungil itu memilih abai mengangguk ke arah waiter bermaksud membiarkan pelayan tersebut untuk menuntun jalannya menuju private room di lantai 2 restaurant yang sudah Jongin reservasi sebelumnya

Sesampainya di sana, beberapa pelayan menyambutnya membungkukkan tubuh dengan sopan sementara pelayan yang mengantarnya mulai membuka pintu di hadapannya dan menyingkir membiarkan Baekhyun untuk masuk terlebih dahulu

Pada awalnya Baekhyun sama sekali tidak masalah melangkahkan kakinya masuk ke dalam, namun kenyataannya baru 3 langkah pria mungil itu masuk, langkahnya langsung terhenti ketika netranya menangkap Chanyeol yang kini sedang duduk di salah satu kursi menatapnya dan tersenyum lembut

Baekhyun terdiam ditempatnya, kembali mundur sebelum kemudian dia menoleh ke arah pelayan yang mengantarnya

“Maaf sepertinya anda salah ruangan”

Pelayan tersebut menata tidak yakin “Sepertinya tidak, sesuai yang sudah tercatatat di pendataan reservasi, Tuan Kim Jongin telah melakukan reservasi untuk hari ini pada jam 8 malam waktu Korea Selatan dan sudah melakukan pembayaran—”

“Periksa”

“Maaf?”

“Periksa, saya yakin kamu salah ruangan”

“Tidak Tuan di sini anda bisa melihatnya dengan jelas—”

“Saya bilang periksa...”

“Gak ada yang salah, Hyun. Jongin emang reservasi private dining di sini”

Baekhyun menoleh menatap Chanyeol yang masih mempertahankan senyum lembutnya

“Mungkin dia masih di perjalanan, kamu bisa duduk dulu sebentar selagi nunggu”

Baekhyun terlihat ragu pada awalnya namun berujung menghembuskan nafas pelan, berjalan mendekat dan mulai menarik kursi tepat di hadapan Chanyeol, Chanyeol sendiri hanya tersenyum sementara para pelayan di sana mulai menghidangkan beberapa makanan di atas meja

“Enjoy your dinner, sir” dan setelahnya beberapa pelayan tersebut pergi meninggalkan Chanyeol dan Baekhyun berdua duduk berhadapan di ruang privat tersebut

“Makan, Hyun”

“Kamu duluan aja, aku nunggu mas Jongin”

Chanyeol menghembuskan nafas pelan sementara Baekhyun mulai mengambil ponselnya dan Chanyeol bisa melihat dengan jelas bagaimana pria mungil di hadapannya ketara terlihat gelisah dan merasa tidak nyaman, terlihat kesal karena berkali-kali menghubungi Jongin dan tidak satupun panggilannya yang diangkat

Namun, Chanyeol tetap sabar, menunggu hingga pria itu akhirnya mencoba memulai percakapan

“Masih coba nelfon Jongin?”

Baekhyun hanya mengangguk sambil tangannya yang sibuk mengirim Jongin beberapa pesan untuk menyuruhnya agar segera datang

“Kenapa?”

Dan Baekhyun mendongak, mengerutkan dahinya menatap Chanyeol bingung “Kenapa maksudnya?”

“Kenapa kamu gak makan duluan aja? Kamu gak nyaman karena cuma ada saya di sini?”

Dan Baekhyun mendengus “Mas, pertanyaan kamu retoris, bukan sesuatu hal yang perlu jawaban di saat kamu sendiri tau jawabannya. Mas Jongin tunangan aku, dan lusa kami menikah, gak etis aku berduaan gini sama kamu”

Dan Chanyeol merasa tertampar dengan bagaimana Baekhyun begitu menghargai hubungannya dengan Jongin dan itu sukses membuatnya kembali merasa sesak dan bersalah, fakta bahwa dulu dia pernah bersama orang lain di saat dia punya hubungan sah dengan Baekhyun saat itu

Perlahan perasaan itu kembali muncul, perasaan ragu dan merasa dirinya benar-benar tidak pantas akan kesempatan yang ia dapatkan. Hanya saja, pria itu berusaha mengendalikan diri, ini satu-satunya kesempatan untuknya membuktikan bahwa dirinya tulus untuk menebus kesalagannya, dirinya tulus mencintai pria mungil di hadapannya

Jadi, Chanyeol mencoba menarik nafas dalam sebelum kemudian menghembuskannya perlahan, mencoba tetap tersenyum dan kembali bersuara “Kamu gak perlu nungguin Jongin...”

Lagi, Baekhyun mendongak menatap Chanyeol dengan tatapan bertanya

”... Jongin gak bakal dateng, ini sengaja disetting agar kita bisa punya waktu berdua untuk saling...”

“Gila ya! Biar bisa punya waktu berdua buat apa?” dan untuk sesaat Baekhyun tanpa sadar sedikit meninggikan nada bicaranya

“Karena ada yang perlu saya omongin...”

“Apa yang mau diomongin, mas? Kalau memang ada, gak perlu sampai private dining kayak gini, kamu bisa dateng ke rumah langsung, ini bukan mas Jongin banget, gak mungkin mas Jongin yang reservasi private dining kayak gini...”

“Demi Tuhan, ini Jongin yang nyiapin, bukan saya...”

“Ya motifnya apa?”

“Seperti yang saya bilang sebelumnya, Baekhyun. Ada yang mau saya omongin, dan ini perlu keseriusan di antara kita, gak bisa cuma saya datang ke rumah, saya butuh kamu liat seberapa seriusnya saya, dan ketika Jongin menyarankan hal ini, saya pikir ini bukan ide yang buruk”

Baekhyun mendengus, entahlah dia sendiri tidak paham dengan perasaannya

“Sekarang to the point aja, kamu mau ngomong apa?”

Dan saat itu lidah Chanyeol terasa kelu, dia ingin mengungkapkan apa yang ada di pikirannya, tapi bayangan berbagai kemungkinan respon yang akan Baekhyun berikan benar-benar membuat nyalinya terciut

Baekhyun sendiri kembali membuang nafas, menatap Chanyeol jengah “Mas, kamu mau ngomong apa, aku capek, demi Tuhan aku capek, udah beberapa hari ini aku ngurus pernikahanku sendirian, aku kau cepet pulang, aku...”

“Baekhyun...”

Chanyeol mulai bersuara sementara Baekhyun menunggu hingga pria bermarga Park itu melajutkan perkataannya “... Saya gak tau gimana saya harus memulai, tapi saya mohon— tolong, kasih saya kesempatan”

Baekhyun terdiam di tempatnya menatap Chanyeol yang menatapnya penuh harapan “Kesempatan apa?”

Tenggorokannya tercekat, pria itu menunduk menyembunyikan kegelisahannya “Kesempatan... Untuk— hidup bahagia bersama kamu— dan Yuan...”

Baekhyun terdiam beberapa saat mencoba mencerna perkataan pria di depannya sebelum kemudian kembali bertanya

“Kesempatan— kamu minta rujuk?”

Dan Chanyeol mengangguk membuat Baekhyun mendengus menatap Chanyeol tidak percaya “Mas, bukannya sebelum ini kita sepakat untuk bahkan gak ketemu lagi? Kamu sendiri yang janji kalau kamu bahkan gak akan nemuin aku dan Yuan lagi, terus sekarang apa? Kamu malah minta rujuk? Minta kesempatan?”

“Hyun...”

“Kamu sadar, gimana cara kamu minta kesempatan kayak gini semakin nunjukkin seberapa brengsek kamu, kamu selalu buat janji tapi kamu selalu jadi yang pertama ngelanggar janji itu...”

Baekhyun mulai menitikkan air matanya, rasa sesak itu kembali muncul pun sama halnya dengan Chanyeol yang tidak bisa mengatakan apapun melihat bagaimana Baekhyun meluapkan perasaannya

”...dulu kamu janji kamu bakal berusaha buat ngeluapain masa lalu kamu, tapi apa, kamu malah jalan sama dia, kembali berhubungan sama dia, bahkan di saat hari itu aku lagi berjuang di antara hidup dan mati aku cuma buat bikin kami bahagia....”

Chanyeol menunduk kembali merasakan sesak dan perasaan bersalahnya yang begitu dalam, pun Baekhyun yang mengepalkan tangannya kuat mencoba menepis rasa nyeri pada hatinya setiap masa-masa itu kembali berputar di pikirannya

”... Dulu kamu janji buat menyelesaikan masa lalu kamu dan hidup bahagia sama aku, kenyataannya kamu milih bahagia kamu sama masa lalu kamu. Kemarin kamu yang janji untuk gak akan muncul di hadapan aku dan membuat aku semakin sulit buat melangkah, dan sekarang kamu muncul dengan gampangnya minta kesempatan bahkan di saat aku udah jadi tunangan orang, tunangan Mas Jongin, tunangan sahabat kamu...”

”...kamu masih punya muka buat minta kesempatan, mas? Kamu merasa kamu pantas buat minta kesempatan kayak gini?”

Dan Chanyeol akhirnya menitikkan air matanya, mengepalkan tangannya kuat di bawah meja kembali menghawal rasa sesaknya

“Saya— saya pikir saya punya kesempatan karena pada akhirnya bunda kamu merestui saya untuk berjuang...”

Baekhyun terdiam sementara Chanyeol kembali berbicara “... Saya juga gak bermaksud mengkhianati Jongin dengan meminta kesempatan dengan kamu, keadaannya tidak seperti yang kamu pikirkan, Hyun...”

”...saya hanya mencoba mengambil kesempatan yang saya miliki, saya ingin memperbaiki apa yang saya lakukan, saya ingin menebus dosa yang sudah saya perbuat, saya ingin membahagiakan kamu dan Yuan, saya ingin menjadi sosok suami dan ayah yang baik untuk kamu dan Yuan...”

”...saya hanya ingin mengambil kesempatan di mana saya bisa menunjukkan dan membuktikan ketulusan saya untuk kamu dan Yuan, saya mencintai kalian, saya ingin membuktikan itu....”

”...tapi seperti yang kamu tanyakan? Apa saya pantes minta kesempatan itu? Dan saya sadar, ternyata— saya memang gak sepantas itu....”

Air mata Baekhyun meluruh semakin deras, pria mungil itu mengeratkan kepalan tangannya semakin kuat menatap Chanyeol yang mendongak dengan wajah merah dan wajah basahnya

“Kamu— ingin saya pergi... Kan?”

Baekhyun tidak bisa menjawab sementara Chanyeol hanya tersenyum lirih “Sebelum saya benar-benar menyerah akan kesempatan yang saya miliki, saya ingin memastikan... Kamu— bahagia?”

Baekhyun terdiam beberapa saat, menarik nafas sebelum kemudian kembali menatap Chanyeol, meski dengan air mata yanh terus mengalir, Baekhyun berusaha menguatkan diri

“Aku bahagia, terlebih itu tanpa kamu”

Dan Chanyeol tersenyum dengan kesakitannya dan mengangguk “Kalau begitu saya pastikan, ini terakhir kalinya saya muncul di hidup kamu”

Chanyeol berdiri mendekat ke arah Baekhyun sebelum secata perlahan menarik pria mungil itu dan memeluknya lembut “Saya mencintai kamu, Baekhyun”

Untuk terakhir kalinya Chanyeol hanya ingin Baekhyun merasakan bagaimana Chanyeol mengungkapkan ketulusannya, setidaknya ketika nanti Chanyeol pergi membiarkan Baekhyun dengan kehidupan barunya, ia tidak menyesali apapun, ia tidak akan pernah menyesal selama Baekhyun tahu bahwa Chanyeol begitu mencintainya

Baekhyun sendiri hanya kembali menangis tanpa suara, merasakan dadanya semakin terasa sesak berkali-kali lipat ketika Chanyeol melepaskan pelukannya dan mengusap rambutnya sebelum kemudian pria itu berjalan menjauh meninggalkan Baekhyun yang mulai menangis terisak ketika merasakan kehampaan dan rasa sesak yang tak bisa di jelaskan

“Ini kamarnya ya?”

Jongin mengangguk “Ini ada namanya juga” katanya sembari menunjuk kartu pasien yang tertempel di tembok samping kamar rawat inap di depannya

“Yaudah langsung masuk aja ya?”

Tanpa menunggu persetujuan Jongin, Yejin mendekat mengetuk pintu sekali sebelum kemudian menggeser pintu tersebut perlahan

Di sana dapat ia lihat sesosok pria yang Yejin kenal bernama Sehun dengan sosok pria lain yang berbaring, menutup mata dengan wajah pucatnya di atas ranjang rumah sakit

Sehun yang melihat kehadiran Yejin segera berdiri, terlihat canggung sebelum kemudian menunjukkan senyum tipisnya dan mengangguk mempersilahkan Yejin untuk masuk dan mendekat

“Selamat pagi, Tante”

Dalam keheningan dan matanya yang terpejam, Chanyeol mengernyit, agaknya merasa aneh mendengar Sehun menyapa ibunya dengan sebutan tante dan sangat canggung -ya, Chanyeol pikir itu adalah ibunya yang datang untuk menjenguknya- hingga akhirnya pria bermarga Park itu perlahan membuka matanya, menoleh dan terkejut bukan main ketika pandangannya melihat sosok wanita paruh baya yang pernah menjadi mertuanya dulu berdiri tak jauh di samping ranjangnya

“Bunda?”

Suaranya serak, dan Chanyeol sesegera mungkin mengangkat tubuhnya, berniat untuk menyapa namun lagi nyeri di perutnya terus menyerangnya membuat pria itu hanya bia meringis sementara Yejin melihatnya mulai merasa khawatir

Namun, Chanyeol bebal, memaksakan diri untuk tetap duduk membuat Sehun pada akhirnya bergerak, mebantu seraya meninggikan kepala ranjang sahabatnya itu

Yejin terpaku untuk beberapa saat ketika netranya tak sengaja melihat bagaimana tangan kiri Chanyeol penuh dengan luka sayatan dan beberapa luka bakar yang mengerikan

“Bunda...” sampai suara Chanyeol menginterupsi membuat pandangannya teralih kini menatap wajah pucat Chanyeol yang menatapnya berusaha untuk berbicara dengan nafasnya yang sedikit tersenggal “...bunda ke sini— ada yang mau diomongin sama saya?”

Yejin tersenyum tipis “Bunda mau jenguk aja, Jongin bilang kamu sakit, jadi bunda ke sini buat jenguk sekaligus mau tau gimana keadaan kamu”

Chanyeol terdiam, sedikit merasa aneh dengan bagaimana cara mantan mertua di hadapannya ini menatap juga berbicara dengannya. Tidak ada tatapan penuh kebencian di sana, tidak ada nada sinis yang keluar dari bibir wanita paruh baya itu seperti beberapa hari lalu. Tatapannya teduh, cara bicaranyapun lembut

“Ngomong-ngomong, bunda bawa buah buat kamu, bunda gatau gimana pantangan dokter, jadi bunda bawa yang aman aja— tapi nanti kalau mau makan coba diskusiin sama dokter ya, takutnya ternyata ada pantangan makan buah tertentu”

Chanyeol tidak merespon sementara Yejin mulai meletakkan bawaannya di atas nakas, bersamaan dengan itu Sehun bergerak menyerahkan kursinya agar Yejin bisa duduk dengan nyaman

Suasana seketika hening. Seakan mengerti dengan keadaan Jongin menatap Sehun beberapa kali dengan gerakan pelan memberi isyarat untuk meninggalkan Yejin dan juga Chanyeol berdua

Sehun menggeleng, menolak. Dia tidak ingin mengambil risiko Chanyeol harus menerima omongan yang nengganggu pikirannya, tapi Jongin kali ini seolah yakin apa yang akan terjadi bukanlah hal yang buruk, jadi tanpa menanggapi respon penolakan Sehun, Jongin membuka suaranya

“Bun, Jongin sama Sehun keluar sebentar ya?”

Yejin mengangguk mengiyakan sementara dSehun melotot namun Jongin mendekat dan meraih tangan Sehun yang berusaha menahan diri, namun Jongin menarik paksa hingga Sehun tak punya pilihan dan berakhir mengikuti Jongin dan meninggalkan Yejin dan Chanyeol di sana

Chanyeol sendiri hanya diam, tidak tahu bagaimana harus memulai percapakan sementara rasanya benar-benar canggung, tapi Yejin berdehem, mengangkat kepalanya menatap Chanyeol tersenyum tipis

“Udah berapa hari di sini?”

Chanyeol diam beberapa saat, berusaha mengingat kapan ia mulai dirawat di rumah sakit “Mungkin— sekitar satu minggu”

“Diagnosa dokter gimana?”

“Saya kena pankreatitis akut”

“Pankreatitis akut? Kenapa?”

“Ahh itu memang saya yang kurang bisa menjaga pola hidup yang teratur, tapi dokter bilang kalau saya konsisten dan dirawat secara intensif, mungkin dalam beberapa hari akan sembuh”

Yejin mengangguk paham sebelum lagi-lagi matanya menangkap luka yang ada di tangan Chanyeol dan Chanyeol menyadari itu, dengan buru-buru pria itu meraih selimut dan menutupnya pelan

Yejin menunduk dan tak lama setelah itu Chanyeol bisa mendengar helaan nafas berat “Sebenarnya ada yang ingin bunda bicarakan, tapi bunda juga bingung dari mana bunda harus bicara...”

Chanyeol sendiri hanya diam, berusaha untuk tetap mendengar dan membiarkan Yejin untuk berbicara apapun

”...mungkin bunda mau sedikit cerita. Kamu tahu? Bunda sayang banget sama Baekhyun mengingat Baekhyun sendiri adalah anak bunda satu-satunya, dari dulu bunda bertekad untuk selalu memberikan semuanya untuk Baekhyun, apapun tanpa terkecuali, bahkan termasuk menikah dengan kamu...”

Chanyeol terdiam sementara Yejin terkekeh, pandangannya menerawang, bibirnya tertarik untuk tersenyum seakan semua memori indah sedang menari di pikirannya

”... Bunda masih inget banget gimana dia begitu bahagia sama pernikahannya, bahkan meski dalam beberapa hari dia tau kalau dia hanya pelarian, rasa sedihnya kalah sama rasa bahagianya, ketika dia bisa menjadi seorang suami dari seseorang yang begitu dia impikan, menjadi pendamping hidup dari seseorang yang sudah lama dia kagumi...”

Chanyeol menunduk, rasa bersalah itu perlahan kembali muncul sementara Yejin kembali bicara

”...bunda begitu mencintai Baekhyun sehingga bunda akan melakukan apapun untuk membuat Baekhyun bahagia, sampai bunda liat Baekhyun berada di titik terendah dalam hidupnya, sampai bunda melihat seberapa hancurnya Baekhyun hari itu...”

Chanyeol meremat pelan selimutnya, merasakan sesak mengingat perbuatan brengseknya di masa lalu, bagaimana dengan tidak tahu dirinya dia meninggalkan Baekhyun dalam keadaan sakit, mengingatnya benar-benar membuat dadanya terasa sesak

”...jujur, sejak itu bunda benar-benar membenci kamu karena gimanapun kamu sumber kehancuran dan pesakitan untuk Baekhyun— hingga bunda bertekad untuk membuat Baekhyun melupakan kamu dan bisa hidup dengan keluarga kecilnya nanti, dan bunda pikir menikahkan Baekhyun dengan Jongin adalah pilihan terbaik...”

”...Jongin begitu mencintai Baekhyun dengan tulus. Baekhyun pernah mencintai sepihak di pernikahan pertamanya, dan bunda berharap Baekhyun bisa merasakan bagaimana rasanya dicintai di pernikahannya dengan Jongin nanti, tapi ternyata bunda salah— apa yang bunda pikirkan justru tanpa sadar menyakiti banyak orang, bahkan termasuk Baekhyun sendiri...”

Yejin tersenyum tipis

”...bunda selalu meyakinkan diri kalau cinta hadir karena terbiasa, bunda percaya lambat laun Baekhyun bisa membuka hatinya buat Jongin, tapi ternyata gak semudah itu, karena kenyataannya perasaannya gak pernah gak pernah berubah...”

Chanyeol menoleh

”...dan fakta bahwa keegoisan bunda juga justru menyakiti Jongin dan juga Yuan, bunda sadar— gak seharusnya bunda mengatur kebahagiaan semua orang...”

Hingga kali ini Yejin beralih menatap Chanyeol dengan berlinang air mata

”...bunda juga sadar, gak seharusnya bunda bertindak egois, memaksakan kebahagiaan Baekhyun pada orang lain di saat sumber kebahagiaannya tidak pernah berubah sama sekali, itu selalu kamu, selalu kamu, nak”

Chanyeol terdiam merasakan jantungnya berdebar hingga Yejin kembali bicara

“Jadi, bunda minta maaf, maaf karena sudah menjadi egois dan tidak memikirkan bagaimana perasaan semua orang, termasuk kamu, bunda gak akan pernah lupa gimana brengseknya kamu hari itu, tapi bunda gak akan menutup mata tentang penyesalan kamu, gimana kamu sadar dan selalu berusaha buat nebus kesalahan kamu...”

Yejin menghembuskan nafas pelan sebelum kemudian kembali bersuara “Jadi, nak, mulai hari ini bunda gak akan memaksa Baekhyun untuk bahagia dengan pilihan bunda, bunda akan membiarkan Baekhyun dengan pilihannya, jadi seandainya kamu ingin berusaha sekali lagi, bunda izinkan....”

”...kamu boleh berjuang untuk memiliki keluarga kecil yang bahagia dengan Baekhyun dan Yuan kalau kamu mau, tapi semua keputusan di Baekhyun, apapun itu kamu yang harus berjuang kali ini ya?”

Chanyeol mengangguk, tidak bisa menahan tangisannya dan lada akhirnya air matanya tumpah “Bunda, makasih...” ucapnya lirih membuat Yejin berdiri, mendekat dan memeluk Chanyeol lembut

“Janji sama bunda, kamu bakal benar-benar mencintai dan membahagiakan anak bunda ya”

Dalam pelukan dan tangisannya Chanyeol mengangguk sementara Yejin tersenyum mengusap punggung pria yang pernah menjadi menantunya itu dengan lembut sambil perasaannya yang terasa lebih lega

Sementara di luar Sehun dan Jongin melihatnya dengan senyum haru, entahlah tapi melihat bagaimana Chanyeol akhirnya benar-benar memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya benar-benar membuat Sehun merasa ikut merasa bahagia sampai perlahan senyumannya memudar dan pandangannya beralih kali ini menatap Jongin yang juga tersenyum melihat keadaan di dalam

“Jong?”

Merasa namanya dipanggil, Jongin menoleh

“Lo gimana?”

Jongin mengernyit “Gimana maksudnya?”

“Kalo Chanyeol berjuang buat dapetin Baekhyun lagi, lo gimana?”

“Ya— gue mundur?”

“Jong....”

Jongin terkekeh

“Se, gue gapapa, gue pernah bilang kan sama lo, cinta bukan tentang harus memiliki, 2 tahun gue sama Baekhyun, perasaan gue buat Baekhyun ga pernah berubah, tapi begitupun dengan perasaan Baekhyun buat Chanyeol, gue emang menjalin hubungan sama Baekhyun tapi rasanya hampa banget, lo tau ketika lo memiliki sesuatu yang gak seharusnya jadi milik lo, rasanya sama sekali gak menyenangkan, lo bakal cuma selalu inget kalo apa yang lo genggam punya orang lain, lo gak bakal bisa dengan bahagia mengakui itu sebagai milik lo...”

Jongin tersenyum

”....jadi, gue baik-baik aja, gak usah khawatir”

Sehun diam menatap Jongin terharu, bagaimana sahabatnya yang satu ini selalu memiliki kelapangan hati untuk menerima apapun yang dia alami membuat Sehun menghela nafas

“Keluar yuk”

“Keluar?”

“Hm, serah ke mana kek, gue temenin lo healing hari ini, mau makan, nginep di mana kek, mau ngapain, gue temenin”

“Lo yang bayar”

“Deal”

“Deal?”

“Deal!”

“Okay, nanti setelah gue anter bunda pulang, kita jalan”

“Ya, kemanapun lah asal lo feel better aja”

Jongin tertawa kecil kali ini kembali menatap ke dalam di mana Chanyeol mulai mengobrol ringan dengan Yejin membuat Jongin hanya bisa tersenyum merasakan kelegaan di hatinya